Kamis, 09 Februari 2012

tujuan hukum islam

MAKALAH STUDI FIQH
“TUJUAN HUKUM ISLAM”

Dosen Pengampu :
Teguh Setiabudi, M.A

Disusun Oleh:

Arini Hidayati                (09610003)
Lailatul Urusyiyah                   (09610057)
Maryam Afiana              (09610046)
Azhar Effendi                 (09610069)
Anis Safidah                  (09610121)


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat. Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diingini.
Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.
Taklif dalam kapasitasnya sebagai instrument hukum memiliki kedudukan yang penting dan strategis. Taklif dalam hukum islam menjadi tali pengikat bagi instrrumen Hukum yang lain, seperti Muhallaf ( Mahkum Alaih ) dan Perbuatan Hukum ( Mahkum Fih ). Taklif dalam Hukum islam merupakan bentuk nyata dari system Hukum yang implikasinya pada tatanan kemaslahatan. pemberlakuan Prinsip-prinsip taklif atau pembentukan hukum Islam tercakup dalam tujuan utama pembentukan hukum Islam. Dalam literatur klasik ditemukan bahwa hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang terkandung dalam maqashid al syari`ah . Secara umum penetapan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat. Tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai seperangkat aturan-atauran atau norma norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa konsensus (ijma`) dari kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat maupun sebuah ketentuan yang ditetapkan oleh pemegang otoritas yang berwenang untuk itu.
Hukum Islam adalah hukum yang bersandarkan pada ajaran syari`at Islam. Norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam al Quran dan as sunnah masih bersifat umum, maka setelah Nabi Muhammad wafat norma-norma yang masih umum tadi dirinci lebih lanjut oleh para sahabat dan juga para tabi`in dengan menggunakan ijtihad atau ra`yu yang berpedoman pada tujuan disyariatkan hukum Islam (maqashid syari`ah) yaitu untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan keadilan bagi segenap isi alam semesta (rahmatan lil `alamin).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Tujuan Hukum Islam dalam Syari’at Islam?
2.      Bagaimana pengertian Taklif dan pembahasan Taklif?
3.      Apa saja syarat-syarat Taklif terhadap Mukallaf?
4.      Bagaimana pengertian Mukallaf dan Pembahasan Mukallaf?
5.      Apa saja syarat-syarat Mukallaf?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui Tujuan Hukum Islam dalam Syari’at Islam.
2.      Mengetahui pengertian Taklif dan pembahasan Taklif.
3.      Mengetahui syarat-syarat Taklif terhadap Mukallaf.
4.      Mengetahui pengertian Mukallaf dan Pembahasan Mukallaf.
5.      Mengetahui syarat-syarat Mukallaf.













BAB II
PEMBAHASAN


A.    Tujuan Hukum Islam
Syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Merupakan rahmat bagi seluruh alam. Tujuan utama pentasyri’an syari’ah islamiyah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan bagi seluruh umat, sehingga manusia memperoleh kemaslahatan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Sedangkan secara umum, para pakar hukum Islam, merumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau mdnolak segala yang madharat dan yang membawa pada madharat. Dengan kata lain, tujuan hukum dalam Islam adalah untuk memberikan kemasalahatan hidup bagi manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga untuk kehidupan di akhirat kelak.
Konsep tentang maqasid al-syari’ah adalah upaya untuk menegakkan maslahah sebagian unsur pokok bagi tujuan hukum. Dari segi bahasa muqashid al syari’at berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum islam. Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang ushul fiqih. Dalam perkembangannya kajian ini menjadi kajian utama dalam filsafat hukum islam. Sehingga dapa dikatakan muqashid al syari’at identik dengan istilah filsafat hukum Islam.
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara ekplisit oleh Al-Qur’an dan Hadist. Lebih dari itu tujuan kasus harus diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan suatu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Persoalan yang dimaksud adalah hukum yang menyangkut bidang mu’amalah.
Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti dahulu hakikat dari masalah tersebut. penelitian terhadap kasus yang ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam menetapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat termasuk meneliti tujuan disyari’atkan hukum tersebut. selain itu perlu dilakukan apakah ayat atau hadist tertentu layak untuk diterapkannya pada kasus yang baru. Boleh jadi ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus yang terdapat dala Al-Qur’an dan Hadist. Padahal setelah didakannya penelitian seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekwensinya, kasus tersebut tidak bisa disamakan hukumnya dengan kasus yang ada dalam kedua sumber hukum yang utama. 
Tujuan Allah mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akherat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan Hadist. Berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan yaitu agama, jiwa, akal, keturunuan, dan harta. Seorang mukallaf akan memeperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima unsur dengan baik.
Guna kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur diatas dibedakan menjadi 3 peringkat yaitu, dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Adapun yang dimaksud dengan memelihara maqâshid tingkat dharuriyyah ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang bersifat esensial. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi atau terpelihara akan berakibat terancamnya lima unsur pokok yang harus dipelihara tadi. Sedangkan memelihara unsur pokok tingkat hajiyyah bukan merupakan kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya.Tidak melaksanakan hajiyyah tidak akan membawa kehancuran pada lima kemaslahatan pokok, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kebutuhan dalam tingkatt tahsiniyyah adalah kebutuhan penunjang agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok demi peningkatan martabat seseorang di dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan, sesuai dengan kaidah-kaidah kepatutan. 
Untuk lebih jelasnnya gambaran tentang tingkatan atau prioritas tiga maqâshid di atas dalam upaya memelihara lima masalah pokok berikut dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut:

1.      Memelihara agama (Hifzh Ad-Din)
*      Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Kalau sholat itu diabaikan maka terancamlah eksistensi agama.
*      Memelihara agama dalam peringkat ringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindarkan kesulitan seperti sholat jamak dan sholat qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dijalankan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
*      Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya, menutup aurat baik didalam maupun diluar sholat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kalau hal ini tik mungkin dilakukan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia dan tidak juga mempersulit bagi orang yang melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat, seseorang boleh sholat akan tetapi jangan sampai meninggalkan sholat.
2.      Memelihara Jiwa (Hifzh An-Nafs)
*         Memelihara jiwa dalam peringkat darruriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi manusia.
*         Memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
*         Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika.
3.      Memelihara akal (Hifzh al-Aql)
*      Memelihara akal dalm peringkat daruriyyat, seperti diharamkannya minum-minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
*      Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
*      Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
4.      Memelihara Keturunan(Hifzh An-Nasl)
*      Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkannya nikah dan dilarang berzina. Kalau keiatan ini diabaikan, mak eksistensi keturunan akan terancam.
*      Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq kepadanya. Jika mahar tersebut tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar, misalnya: dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis.
*      Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyar’atkannya khitobah atau walimat dalam perkawinan
5.      Memelihara akal (Hifzh al-Mal)
*         Memelihara harta dalam peringkat darruriyat, seperti syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
*         Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Jika tidak dilakukan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
*         Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis. Hal ini juga berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini  juga merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama. 



B.     Pengertian dan Pembahasan Taklîf
Sebelum membahas lebih dalam tentang taklîf, perlu diketahui bahwa pembahasan taklîf di sini adalah berkaitan dengan hukum. karena taklif merupakan esensi dari tuntutan atas perbuatan Hukum, oleh karenanya membahas taklif harus terlebih didahului dengan pembahasan Hukum, yakni Hukum dapat diterjemahkan dengan istilah :
خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع
Artinya: “Kalam/Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan), atau pilihan atau meletakan/menjadikan (suatu sebab atau penghalang bagi suatu hukum)”.
a)      Yang dimaksud dengan خطاب الله adalah dalil yang secara langsung datang dari Allah SWT yaitu Alquran, atau dalil yang datang dengan wâsithah (lantaran) seperti Sunah, Ijmak, Qiyas, dan dalil-dalil yang lain. Maka setiap satu dari dalil-dalil ini adalah hukum syar’î menurut ulama-ulama usul.
b)      Yang dimaksud dengan بالإقتضاء adalah tuntutan (الطلب) untuk melakukan sesuatu, sama ada tuntutan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan.
c)      Yang dimaksud dengan بالتخيير adalah kebolehan (الإباحة) antara melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan dengan posisi yang sama.
d)     Yang dimaksud dengan بالوضع adalah meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, azîmah, atau keringanan pada sesuatu yang lain.
            Taklîf (تكليف) berasal dari fi’il mâdli كلّف yang memiliki makna “membebani, memikul, mengerjakan dan berpegang pada tata cara ”. Seperti contoh كلّف محمد سعيدا بالأمر yang berarti “ Muhammad membebani sa’id dengan sebuah perkara”. Maka kata تكليف berarti “pembebanan”. Pembebanan / tuntutan atas perbuatan mukallaf berarti tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan”. Tuntutan hukum sangat terkait dengan nilai-nilai ketaatan dan keinginan melaksanakan perintah atau aturan. Nilai-nilai ketaatan dan keinginan melaksanakan perintah identik dengan pengetahuan (`ilm) si pelaku. Apabila ia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap aturan yang ada, maka kualitas tindakan patuh terhadap aturan hanyalah merupakan kebetulan saja, oleh karenanya ia tidak dianggap taat. Kepatuhan tidak hanya tercermin dalam tindakan saja tetapi juga tercermin dalam hati dan akal si pelaku. Kata al tha`at (taat atau patuh) dan al imtitsal (terlaksananya perbuatan) terjadi tidak hanya kebetulan saja.
            Contoh tuntutan melakukan perbuatan adalah ayat أقيموا الصلاة atau كتب عليكم الصيام”. Sedangkan contoh tuntutan meninggalkan perbuatan adalah ayat ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق atau “حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير...”. Bagi contoh pilihan pula adalah ayat فلا جُناح عليهما فيما افتدتْ به atau وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة”.
          Hukum ini disebut sebagai hukum taklîfî adalah dikarenakan hukum ini memiliki pembebanan (تكليف) dengan melakukan atau meninggalkan atau pilihan dalam melakukan perbuatan tersebut.f
C.    Syarat-syarat taklif
Allah SWT tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang di luar batas kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti itu berarti Allah menganiaya terhadap hamba-Nya. Dan sikap yang seperti itu mustahil terdapat dalam dzat Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan manusia ditaklifkan :
a)      Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal (umum) dapat dilaksanakan harus ada penjelasan dari Nabi SAW. Dalam ayat misalnya, tidak menyebutkan cara pelaksnaan sholat dalam Alqur’an, untuk itu Nabi menjelaskannya dalam sabda beliau.
“shallu kama raaitumuni ushalli.”
Demikian pula haji, puasa, zakat dan segala perintah yang bersifat mujmal. Ia tidak dapat ditaklifkan dan mukallfpun tidak dapat ditaklifi agar mematuhinya, melainkan setelah ada penjelasan.
b)      Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada orang lain yang mengetahui maka orang yang dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya.
Olek karena itu, juga orang-orang yang seperti itu tidak dapat diterima alasannya bahwa ia tidak mengetahui adanya hukum tersebut.
c)      Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan seoarang mukallaf tersebut. Dan syarat yang ketiga ini timbul dari 2 hal :
1.      Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut dzatnya maupun karena hal lain. Mustahil menurut dzatnya adanya sesuatu yang tidak tergambar adanya pada akal. Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan sesuatu pada waktu yang bersamaan.adapun mustahil karena hal lain adalah segala sesuatu yang tergambar oleh adanya akal, tetapi menurut hukum alam dan kebiasaan pernah terjadi. Misalnya, menyuruh sesorang terbang tanpa pesawat terbang.
2.      Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, Misalnya, tidak dibebankan kepada seseorang agar kawannya mnegrjakan shalat, berhenti merokok, tidak mencuri, dan lain sebagainya, yang ditaklifkan disini hanya memberi nasihat, menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.
Hukum taklîfî terbagi menjadi 5 jenis karena “خطاب الله” yang berupa tuntutan melakukan sebuah perbuatan itu terkadang ada yang tegas, maka hukumnya adalah al-Ijab. Ada juga yang tidak tegas, maka hukumnya adalah al-Nadb. Tuntutan yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan seumpama ia tegas, maka hukumnya al-tahrîm. Akan tetapi kalau ia tidak secara tegas, maka hukumnya al-karahah. Apabila “خطاب” itu menunjukkan pada kebolehan melakukan pemilihan, maka hukumnya adalah al-Ibâhah.
Sedangkan perkara-perkara yang dituntut untuk melakukannya atau meninggalkannya atau terdapat pilihan itu ada 5 jenis:
1.      Al-Wajib (Ijab): (طلب الفعل طلبا جازما), Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat pahala dari Allah SWT dan bila ditinggalkan berakibat dosa. Seperti contoh mendirikan solat lima waktu, membayar zakat, dan lain-lain.
2.      Al-Sunnah (Mandub): (طلب الفعل طلبا غير جازم), Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan mandub (sunnah) mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila ditinggalkan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menulis hutang-piutang, siwakan, dan lain-lain.
3.      Al-Haram (Tahrim) : (طلب الترك طلبا جازما), Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat dosa dari Allah SWT dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti contoh memakan harta riba, melakukan zina, dan lain-lain.
4.      Al-Makruh (Karahah): (طلب الترك طلبا غير جازم), Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syari’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang meninggalkan perbuatan makrûh mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila dilakukan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menjatuhkan thalâq terhadap istrinya.
5.      Al-Mubah (Ibahah): Sebuah perkara yang oleh al-Syari’ memperbolehkan terhadap mukallaf untuk memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Dengan gambaran orang yang melakukan atau meninggalkan perkara yang mubâh tidak diberi pahala maupun dosa. Seperti contoh diperbolehkannya berburu apabila telah selesai melaksanakan ibadah haji.

D.    Pengertian dan Pembahasan Mukallaf
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani.
Secara istilah, mukallaf adalah:
الإنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه
Artinya: “Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.
Mukallaf berarti sesuatu atau orang yang terbebani, orang yang memikul, dan orang yang berpegang pada tata cara. Dia adalah sesuatu atau orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Dasar pembebanan hukum adalah akal (`aqil, mumayyiz), cukup umur (baligh), kehendak sendiri (ikhtiyar) dan pemahaman (fahm al-mukallaf). Kata aqil mengandung pengertian akal fikiran seseorang telah sempurna dan sehat, ia dapat memahami dengan baik semua aturan dan akibat hukum yang terkait dengan perbuatannya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî.
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق (رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني )
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”.
 رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني)
Artinya: “Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.


E.     Syarat-Syarat Mukallaf
Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat tiga syarat:
1.      Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitab, sedangkan khitab orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“ Agama itu bedasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal “.
Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syari’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“ Diangkatkan (dihilangkan) qolam (tuntunan) dari 3 orang yaitu dari anak-anak samapai ia dewasa, dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari orang gila sampai ia sembuh “.
2.      Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif (أهلية). Secara istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai:
صلاحية الإنسان لاستحقاق الحقوق وأداء التصرفات
Artinya: “Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”.
Kecakapan menerima taklif (Al-Ahliyyah) adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada 2 macam, yaitu kepantasan untuk di kenai hukum (Ahliyyatul Wujub) dn kepantasan untuk menjalankan hukum (Ahliyyatul Ada’).
Kecakapan untuk dikenai hukum (Ahliyyatul Wujub) yaitu kepantasan seseorang manusia untuk menrima hak-hak dan dikenai kewajiban. Para Ahli Ushul Fiqh membagi ahliyyatul wujub pada 2 tingkatan :
1.      Ahliyyah Al-Wujub Naqisoh atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
Contoh: kecakapan untuk menrima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya, bayi itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meski ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernama manusia.
Contoh: kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang telah mati tapi masih meninggalkan hutang, dengan kematiannya itu .ia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, tetapi masih dikenakan kewajiban untuk membayar hutang.
2.      Ahliyyah Al-Wujub Kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Contohnya adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak menerima harta warisan, ia juga telah dikenai kewajiban seperti membayar zakat fitrah yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua/wali bayi tersebut. Kecakapan untuk menjalankan hukum (Ahliyyatul Ada’) yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.
Kecakapan berbuat hukum (Ahliyyatul Ada’) terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur manusia. Ketiga tingkat tersebut adalah :
1.      Adim Al-Ahliyyah atau tidak cakap sama sekali yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2.      Ahliyyah Al-Ada’ Naqisoh atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyis (kira-kira umur 7 tahun) smpai batas dewasa.
3.       Ahliyyah Al-Ada’ Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
BAB III
PENUTUP

A.    kesimpulan
            Tujuan utama pentasyri’an syari’ah islamiyah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan bagi seluruh umat, sehingga manusia memperoleh kemaslahatan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.
Konsep tentang maqasid al-syari’ah adalah upaya untuk menegakkan maslahah sebagian unsur pokok bagi tujuan hukum. Dari segi bahasa muqashid al syari’at berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum islam.
Berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan yaitu agama, jiwa, akal, keturunuan, dan harta. Seorang mukallaf akan memeperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima unsur dengan baik. kelima unsur diatas dibedakan menjadi 3 peringkat yaitu, dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Adapun yang dimaksud dengan memelihara maqâshid tingkat dharuriyyah ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang bersifat esensial. Sedangkan memelihara unsur pokok tingkat hajiyyah bukan merupakan kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak melaksanakan hajiyyah tidak akan membawa kehancuran pada lima kemaslahatan pokok, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukalaf.
Taklif merupakan esensi dari tuntutan atas perbuatan Hukum, oleh karenanya membahas taklif harus terlebih didahului dengan pembahasan Hukum
Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan manusia ditaklifkan :
a.       Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut.
b.      Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
c.       Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan seoarang mukallaf tersebut.
Mukallaf berarti sesuatu atau orang yang terbebani, orang yang memikul, dan orang yang berpegang pada tata cara. Dia adalah sesuatu atau orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Dasar pembebanan hukum adalah akal (`aqil, mumayyiz), cukup umur (baligh), kehendak sendiri (ikhtiyar) dan pemahaman (fahm al-mukallaf).      
Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat tiga syarat:
a.       Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitab, sedangkan khitab orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin.
b.      Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif (أهلية).











DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam Pengantar  Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Daud Ali, Muhammad, H. 2005. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia).  Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khatimah, Husnul. 2007. Penerapan Syari’ah Islam (Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Mustafa dan Wahid Abdul. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Praja, Juhaya S. 1995. Filsafat Hukum Islami. Bandung: Pusat Penerbitan LPPM-Universitas Islam Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar