MATERI III
Pertemuan 4 dan 5
PENDEKATAN DAN BUDAYA AKADEMIK ULUL ALBAB
Untuk menghasilkan sarjana yang diharapkan, yakni sarjana yang mempunyai kualifikasi Ulul Albab, diperlukan pendekatan-pendekatan dan budaya akademik yang mampu mendukung terciptanya cita-cita yang diinginkan.
A. PENDEKATAN (PENGGABUNGAN PT DAN MA’HAD)
Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang mempunyai banyak perbedaan. Perguruan tinggi merupakan gejala kota, pesantren gejala desa. Perguruan tinggi identik dengan kemodernan, pesantren identik dengan ketradisionalan. Perguruan tinggi lebih menekankan pendekatan yang bersifat liberal, pesantren lebih menekankan sikap konservatif yang bersandar karena berpusat pada figur sang Kyai.
Persepsi dualisme-dikotomik semacam itu mungkin saja kurang begitu tepat karena dalam kenyataanya banyak juga pesantren yang telah melakukan perubahan baik secara struktural maupun kultural. Munculnya banyak pesantren dengan klaim pesantren modern, yang bisa saja terkesan superfisial, bagaimanapun telah menjadi petunjuk penting bahwa pesantren tidak selamanya memperlihatkan perkembangan yang statis atau status quo. Maka kalau perguruan tinggi sering diberi citra yang "wah", tidak berarti keberadaannya lebih unggul daripada pesantren. Bahkan, kalau dilihat dari sisi kemandirian, pesantren mempunyai kelebihan. Dan kalau mau jujur, sebenarnya lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap munculnya fenomena masyarakat pendidikan berlebih (over-educated society) yang dapat dilihat pada semakin membludaknya pengangguran intelektual di kota sekarang ini, adalah perguruan tinggi itu.
Berbicara tentang sisi kelebihan pesantren, pada tahun 1930, Dr. Sutomo, seorang cendekiawan Indonesia pernah memberikan pernyataan yang menarik. Menurutnya, azas-azas sistem pendidikan pesantren harus dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia. Meskipun pemikiran Sutomo kurang memperoleh tanggapan yang berarti, tetapi patut digarisbawahi bahwa ternyata pesantren telah dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nasional di Indonesia, agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genus. Di kalangan ummat Islam sendiri pesantren sedemikian jauh telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang mempunyai keunggulan baik pada sisi tradisi keilmuannya yang oleh Martin Van Bruinessen dinilai sebagai salah satu tradisi agung (great tradition), maupun pada sisi transmisi dan internalisasi moralitas Islam, kata Nurcholish Madjid.
Pendapat di atas mungkin terkesan klise atau gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjur terbingkai dalam wacana modernisme. Akan tetapi, sekali lagi, dengan mempertimbangkan kelebihan yang dimilikinya, bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik sebagai alternatif di tengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia, termasuk juga perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan formal yang paling tinggi. Pada dekade 70-an dan 80-an ketika LSM menjadi mainstream gerakan pemberdayaan rakyat, pesantren seringkali dilibatkan sebagai mitra dalam pembangunan masyarakat pedesaan. Kenapa pesantren? Sebab jika dipandang dari perspektif centered development, sebuah model pembangunan alternatif yang pernah diintrodusir oleh David C. Korten, pesantren dinilai lebih dekat dan mengetahui seluk beluk masyarakat yang berada di lapisan bawah. Maka dari ujung pulau Madura, sebuah pesantren yang dikenal dengan nama An-Nuqayah, yang terdapat di desa Guluk-Guluk, Sumenep, tampil dengan rintisan Program Pengembangan lingkungan sekitarnya. Atas hasilnya itu, An-Nuqayah mendapatkan hadiah dan penghargaan Kalpataru karena prestasinya dalam menyelamatkan lingkungan.
Namun demikian tidak berarti pesantren lepas dari kelemahan. Justru dalam zaman yang ditandai dengan cepatnya perubahan di semua sektor dewasa ini, pesantren menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya agak tertatih-tatih kalau tidak malah kehilangan kreativitas dalam merespon perkembangan zaman. Beberapa pesantren yang ada pada saat ini, masih saja secara kaku mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya masih sophisticated dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal, sebagai suatu institusi pendidikan, keagamaan dan sosial, pesantren dituntut melakukankontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya. Kenapa ini bisa terjadi?
Pertama, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkhis yang berpusat pada satu orang Kyai. Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang unik. Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi Kyai. Maka dalam perkembangan selanjutnya dia menjadi figur pesantren. Pola semacam ini tak pelak lagi melahirkan implikasi manajemen yang otoritarianistik. Pembaharuan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat tergantung pada sikap sang Kyai. Tambahan pula, pola seperti ini akan berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan pesantren di masa depan. Banyak pesantren yang sebelumnya populer, tiba-tiba "hilang" begitu saja karena sang Kyai meninggal dunia.
Kedua, kelemahan di bidang metodologi. Telah umum diketahui bahwa pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi keilmuan klasik. Namun karena kurang adanya improvisasi metodologi, proses transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Dikatakan oleh Martin Van Brunessen, ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah. Jadi, proses transmisi itu merupakan penerimaan secara taken for granted. Muhamad Tholhah Hasan, salah seorang intelektual muslim dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengkritik, bahwa tradisi pengajaran yang mendapatkan penekanan di pesantren itu adalah fiqh (fiqh oriented), maka penerapan fiqh menjadi teralienasi dengan realitas sosial dan keilmuan serta teknologi kontemporer.
Di sisi lain, Perguruan tinggi yang mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan ditambah dengan pengayaan di bidang skill, tapi minus pengayaan moral, dalam kenyataannya hanya menghasilkan manusia yang cerdas tapi kurang mempunyai kepekaan etik dan moral. Sebaliknya, pesantren yang mempunyai keunggulan dari sisi moralitas tapi minus tradisi rasional, meskipun mampu melahirkan pribadi yang tangguh secara moral, tapi lemah secara intelektual. Dengan memperhatikan implikasi yang sifatnya demikian mendasar seperti telah digambarkan jika pendidikan dibiarkan bertahan dalam pola dualisme dikotomik, maka sudah waktunya dicari usaha ke arah terciptanya suatu sintesa, konvergensi atau sinergisitas sehingga dapat dicapai kesatuan antara moralitas rasionalitas, ruhaniah-jasmaniah.
Persoalannya kini, sintesa yang bagaimana yang kita inginkan? Tentu saja kita tidak hanya menginginkan dalam bentuknya yang bersifat fisik semata karena sintesa semacam ini tidak akan mungkin mendapatkan hasil yang ideal. Menurut hemat saya, yang terpenting sintesa tersebut hams betul-betul mampu menggambarkan integrasi keilmuan. Karena itu sintesa tersebut pertama-tama hendaknya mampu melakukan dekonstruksi terhadap realitas keilmuan yang bersifat dualisme dikotomik. Persoalan ini bukanlah persoalan yang sederhana karena menuntut kita untuk membongkar akar-akar teologis fisolofis terjadinya dualisme-dikotomik tersebut. Masalahnya bukan sekadar mencari pembenaran secara qur'ani yang terkesan artifisial berbagai bentuk keilmuan yang berkembang sekarang ini, yang tidak berakar pada tradisi keilmuan dalam pesantren.
Karena itu, kita harus merekonstruksi wacana keilmuan yang selama ini terpilah-pilah secara rigid antara "ilmu-ilmu agama" di satu pihak, dengan "ilmu-ilmu umum" di pihak lain. Kalau wacana seperti ini yang dipakai, jangan-jangan apa yang kita sebut dengan perguruan tinggi pesantren atau pesantren perguruan tinggi, bila siang diberi "ilmu-ilmu umum" sedangkan malam dikasih kitab kuning. Jika kita coba menguak kembali konsep 'Urn dalam al-Qur'an, maka akan segera nampak jelas cacat teologis dan filosofis pembidangan keilmuan yang bersifat dualisme-dikotomik itu. Dalam sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an, demikian Mahdi Ghulsyani menjelaskan, konsep ilmu secara mutlak, muncul dalam maknanya yang masih umum (generik). Lihat misalnya, Q.S. 39:9; Q.S. 2:31; QS. 12:76; QS. 16:70. tambahan pula, klasifikasi ilmu ke dalam ilmu agama dan non-agama (umum) menurut Murtadha Muthahhari, akan menyebabkan kesalahan memandang (miskonsepsi) bahwa ilmu "non-agama" terpisah dari Islam, dan dampak tidak sesuai dengan watak universalitas agama Islam yang menyatakan dapat merahmati kehidupan semesta ini.
Jika demikian permasalahannya maka sintesa antara perguruan tinggi dengan pesantren menghadapi persoalan yang cukup serius, karena kedua institusi tersebut sudah terlanjur dikembangkan dalam wacana keilmuan yang dualisme-dikotomik. Tapi permasalahan tersebut dapat segera dituntaskan jika saja ada keberanian moral dan intelektual dari semua pihak yang berkepentingan dengan gagasan sintesa antara perguruan tinggi dan pesantren. Di samping persoalan keilmuan di atas, persoalan lainnya yang perlu dipikirkan adalah masalah manajemen dan kepemimpinan, pembentukan tradisi baru, serta keterkaitan institusi dengan perkembangan masyarakat, sehingga sintesa yang diinginkan betul-betul menyeluruh bukan artifisial.
A. BUDAYA AKADEMIK.
Budaya sebuah komunitas, tak terkecuali komunitas pendidikan, dapat dilihat dari dimensi lahir maupun batinnya. Budaya lahiriah meliputi hasil karya atau penampilan yang tampak atau yang dapat dilihat, misalnya penampilan fisik seperti gedung, penataan lingkungan sekolah, sarana pendidikan dan sejenisnya. Sedangkan yang bersifat batiniah adalah hasil karya yang tidak tampak, tetapi dapat dirasakan. Hal itu misalnya menyangkut pola hubungan antarsesama, cara menghargai prestasi seseorang, sifat-sifat pribadi yang dimiliki baik kekurangan maupun kelebihannya, dan sebagainya. Budaya adalah sesuatu yang dianggap bernilai tinggi, yang dihargai, dihormati dan didukung bersama. Budaya juga berstrata, oleh karena itu di tengah masyarakat terdapat anggapan budaya rendah, sedang dan tinggi. Dilihat dari perspektif organisasi, budaya juga berfungsi sebagai instrumen penggerak dinamika masyarakat.
Tingkat perkembangan budaya sebuah komunitas masyarakat, dapat dilihat dari sisi yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lembaga pendidikan disebut berbudaya tinggi, dari sisi lahiriahnya, ketika ia berhasil membangun penampilan wajahnya sesuai dengan tuntutan z`man. Misalnya, lembaga pendidikan itu: memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, berhasil membangun gedung sebagai sarana pendidikan yang mencukupi –baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya, mampu menyediakan prasarana pendidikan yang memadai, menciptakan lingkungan bersih, rapi dan indah, memiliki jaringan atau network yang luas dan kuat, dan sebagainya. Sedangkan tingkat budaya batiniah dapat dilihat melalui cita-cita, pandangan tentang dunia kehidupan: menyangkut diri, keluarga dan orang lain atau sesama, apresiasi terhadap kehidupan spiritual dan seni, kemampuan mengembangkan ilmu dan hikmah. Masih dalam lingkup budaya batin dapat dilihat pula dari bagaimana mereka membangun interaksi dan interrelasi di antara komunitasnya, mendudukkan dan menghargai orang lain dalam berbagai aktivitasnya, dan bagaimana mensyukuri nikmat serta karunia yang diperoleh.
Suasana yang dinamis, penuh kekeluargaan, kerjasama serta saling menghargai senantiasa menjadi sumber inspirasi dan kekuatan penggerak menuju ke arah kemajuan, baik dari sisi spiritual, intelektual dan profesional. Sebaliknya, komunitas yang diwarnai oleh suasana kehidupan yang saling tidak percaya, sû’ al-zhann, tidak saling menghargai di antara sesama, kufur, akan memperlemah semangat kerja dan melahirkan suasana stagnan. Pola hubungan sebagaimana disebutkan terakhir itu akan melahirkan atmosfir konflik yang tak produktif serta jiwa materialistik dan hubungan-hubungan transaksional yang akan berakibat memperlemah kehidupan organisasi kampus itu sendiri. Sarjana Ulul Albab harus dijauhkan dari budaya seperti itu. Sebab, sebaik-baik fasilitas yang disediakan berupa kemegahan gedung serta setinggi apapun kualitas tenaga pengajar, jika lembaga pendidikan tersebut tak mampu mengembangkan budaya tinggi, maka pendidikan tak akan menghasilkan produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sebaliknya, sekalipun budaya lahiriah tak berkategori tinggi, tetapi jika budaya batiniah dapat dikembangkan setinggi mungkin, produk pendidikan masih dapat diharapkan lebih baik hasilnya. Sarjana Ulul Albab dalam menggapai tujuan pendidikan secara maksimal, mengembangan budaya lahiriah dan batiniah secara padu, simultan dan maksimal sesuai dengan potensi dan kekuatan yang ada.
1. Orientasi Sarjana Ulul Albab.
Arah Pendidikan ulûl albâb dirumuskan dalam bentuk perintah sebagai berikut: kûnû ulî al-`ilmi, kûnû ulî an-nuhâ, kûnû ulî al-abshâr, kûnû ulî al-albâb, wa jâhidû fi Allâh haqqa jihâdih. Betapa pentingnya rumusan tujuan ini bagi pendidikan Ulul Albab agar dapat dihayati oleh semua warga kampus UIN Malang, maka ditulis di atas batu besar sebagai sebuah prasasti yang diletakkan persis di depan ma’had dalam kampus. Tulisan pada prasasti tersebut sekaligus dimaksudkan untuk memberikan kepastian bahwa pendidikan di kampus ini tidak akan mengarahkan para lulusannya untuk menempati posisi atau jabatan atau jenis pekerjaan tertentu di masyarakat. Pendidikan ulûl albâb memberikan piranti yang dipandang kukuh dan strategis agar seseorang dapat menjalankan peran sebagai khalîfah di muka bumi sebagaimana yang diisyaratkan Allah swt. melalui kitab suci al-Qur’an.
Pendidikan Ulul Albab berkeyakinan bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan bagi komunitas kampus semata-mata dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan diri dan memperoleh ridha Allah swt. Akan tetapi, pendidikan Ulul Albab juga tidak menafikan arti pentingnya pekerjaan sebagai sumber rizki. Ulul Albab berpandangan bahwa jika seseorang telah menguasai ilmu pengetahuan, cerdas, berpandangan luas dan berhati yang lembut serta mau berjuang di jalan Allah, insya Allah akan mampu melakukan amal shaleh. Konsep amal shaleh diartikan sebagai bekerja secara lurus, tepat, benar atau profesional. Amal shaleh bagi Ulul Albab adalah merupakan keharusan bagi komunitas kampus dan alumninya. Sebab, amal shaleh adalah jalan menuju ridha Allah swt.
2. Ukuran Keberhasilan
Keberhasilan hidup bagi penyandang Ulul Albab bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan sanjungan yang diperoleh, melainkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Di dunia ini tak sedikit orang kaya, berkuasa dan disanjung orang banyak, tetapi ternyata tidak selamat dan juga tidak bahagia. Ulul Albab diberikan oleh Allah swt. rizki yang halal, mungkin juga pengaruh yang luas tetapi tetap selamat dan bahagia. Penyandang Ulul Albab selalu memilih jenis dan cara kerja yang shaleh, artinya yang benar, lurus, tepat atau profesional. Oleh karena itu, amal shaleh yang dilakukan oleh Ulul Albab selalu disenangi oleh manusia dan bahkan oleh Allah swt.
Ulul Albab meyakini adanya kehidupan jasmani dan ruhani, dunia dan akhirat. Kedua dimensi kehidupan itu harus memperoleh perhatian secara seimbang dan tidak dibenarkan hanya memprioritaskan salah satunya. Keberuntungan di dunia harus berdampak positif pada kehidupan akhirat dan tidak justru sebaliknya. Demikian pula kesehatan jasmani harus memberi dampak positif pula pada kesehatan ruhani. Keuntungan material bisa jadi berdampak positif pada kesehatan jasmani, akan tetapi jika diperoleh dengan cara yang tidak halal akan berdampak pada kesehatan ruhani. Bagi Ulul Albab hal tersebut harus dihindari.
Lewat dzikr, fikr dan amal shaleh, pendidikan Ulul Albab mengantarkan seseorang menjadi manusia terbaik, sehat jasmani dan ruhani. Sebagai manusia terbaik, ia selalu melakukan kegiatan dan pelayanan terbaik kepada sesama, “khair an-nâs anfa`uhum li an-nâs. Sebagai orang yang sehat harus berusaha menghindar dari segala penyakit baik penyakit jasmani maupun penyakit ruhani. Penyakit jasmani mudah dikenali dan dirasakan, sementara penyakit ruhani tak mudah dikenali dan bahkan juga tidak disadari. Beberapa jenis penyakit ruhani itu antara lain: sifat dengki, iri hati, suka menyombongkan diri (takabbur), kufur nikmat, pendendam, keras kepala, individualistik, tidak toleran dan lain-lain.
Pendidikan di UIN Malang diarahkan untuk menjadikan seluruh mahasiswanya: (1) berilmu pengetahuan yang luas, (2) mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial secara tepat, (3) Memiliki otak yang cerdas, (4) berhati lembut dan (5) bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh. Jika kelima kekuatan ini berhasil dimiliki oleh siapa saja yang belajar di kampus ini, artinya pendidikan Ulul Albab sudah dipandang berhasil. Sebab, dengan ciri-ciri itu seseorang diharapkan akan memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional.
C. MANAJEMEN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN.
Al-Qur’an bagi umat Islam adalah petunjuk segala kehidupan, tak terkecuali dalam mengembangkan organisasi pendidikan yang melibatkan orang banyak. Membangun kampus sama artinya dengan membangun orang, baik dari sisi karakter, perilaku, keilmuan maupun ketrampilan.
Mengatur orang banyak dengan berbagai sifatnya harus menggunakan pendekatan kemanusiaan. Sebab, manusia selain memiliki potensi maslahah, sekaligus juga menyandang potensi sifat-sifat mafsadah. Kedua sifat yang berlawanan itu tidak akan dapat dihilangkan, oleh karena itu harus disalurkan pada hal yang menguntungkan.
Selanjutnya harus dibedakan antara manajemen pengelolaan kampus dan manajemen pengembangan kampus. Manajemen pengelolaan kampus lebih tertuju pada penataan atau pengaturan terhadap seluruh kegiatan pelayanan pendidikan. Sedangkan manajemen pengembangan kampus lebih diarahkan pada upaya menumbuh-kembangkan kampus agar tahap demi tahap mengalami kemajuan. Kedua jenis manajemen tersebut diuraikan secara garis besar.
1. Manajemen Pengelolaan Kampus
Manajemen yang dikembangkan agar lembaga ini tumbuh secara wajar, dinamis, inovatif dan terhindar dari hambatan psikologis harus selalu menumbuh-kembangkan suasana kebersamaan, keterbukaan, tanggung jawab, amanah dan profesional. Sebagai lembaga pendidikan, kampus ini memiliki peran dan tanggung jawab menumbuh -kembangkan anak-anak muda yang penuh harap agar kelak menjadi manusia Ulul Albab.
Lembaga ini tak ubahnya sebidang persemaian anak manusia yang harus tumbuh secara wajar, sehat dan sempurna. Sedemikian berat peran yang harus diemban oleh lembaga pendidikan tinggi ini. Oleh karena itu, lembaga ini harus disangga oleh orang banyak, dan bukan justru saling memperebutkan amanah. Perebutan yang berlebihan hanya akan memperlemah kekuatan yang diperlukan untuk menyangga beban berat tersebut.
Sebagai langkah antisipatif untuk menjaga kebersamaan yang kukuh kampus ini harus menjauhkan diri dari atmosfir politik. Sebab, kampus bukan lembaga politik, melainkan lembaga akademik. Selain itu untuk menjaga keutuhan bersama maka harus selalu diwaspadai, jika muncul gejala seseorang atau sekelompok orang merasa terpinggirkan, maka harus segera dihimpun. Keutuhan dan kebersamaan dalam kampus ini harus ditempatkan pada posisi strategis yang tak boleh diabaikan.
Partisipasi semua pihak, sebagai syarat agar organisasi dapat tumbuh sehat, harus didasarkan atas profesionalisme. Penetapan seseorang menduduki jabatan tertentu harus dipilih secara fair, objektif dan demokratis. Penempatan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu yang hanya didasarkan pada pertimbangan kedekatan hubungan kelompok atau primordial akan meruntuhkan semangat partisipasi. Profesionalisme menuntut rasionalisme yang merupakan ciri khas perguruan tinggi.
Hal lain yang tidak boleh dilanggar adalah tumbuhnya rasa ketidak-adilan, termasuk dalam pembagian informasi. Perasaan tidak adil akan melahirkan friksi-friksi yang mengakibatkan lembaga menjadi tidak sehat. Siapa saja akan ikhlas mendarmabaktikan apa saja yang dimiliki, jika mereka merasa diberlakukan secara adil dan jujur. Sikap tidak fair, tidak jujur dan tidak adil, selalu dibenci oleh semua orang. Relevan dengan itu, tepatlah rumusan sebuah prinsip manajemen kontemporer yang mengatakan bahwa pemimpin harus cerdik, tetapi sekali-kali jangan mencoba-coba menggunakan kecerdikannya untuk menipu orang lain. Di sini suasana keterbukaan lagi-lagi penting untuk menghindari lahirnya sû’ al-zhann atau saling tidak mempercayai yang akan berdampak negatif pada pertumbuhan organisasi.
Polarisasi warga kampus atas dasar perbedaan paham keagamaan, etnis atau asal daerah diberi toleransi, dan bahkan dikembangkan sepanjang tidak mengganggu keutuhan warga kampus secara keseluruhan. Perbedaan yang melahirkan polarisasi itu suatu ketika menjadi penting jika dengan polarisasi itu dapat ditumbuh-kembangkan suasana fastabiqû al-khairat, sehingga dapat memacu pertumbuhan dan dinamika kampus.
2. Manajemen Pengembangan Kampus
Dalam al-Qur’an terdapat petunjuk bagaimana mengembangkan komunitas manusia. Beberapa ayat yang dikenal sebagai awal turunnya al-Qur’an, yakni awal surat al-`Alaq dan awal surat al-Muddatstsir, memberikan inspirasi bagaimana sebuah gerakan membangun masyarakat seharusnya dilakukan. Surat al-`Alaq diawali dengan kata qirâ’ah atau iqra’, yaitu perintah membaca. Kemudian pada ayat pertama surat al Muddatstsir, yang selama ini dikenal sebagai ayat-ayat yang turun setelahnya, berisi seruan pada kaum berselimut (muddatstsir), mereka diperintah untuk qiyâm atau bangkit. Perintah selanjutnya adalah melakukan bersuci (thahârah). Dalam konteks bersuci terdapat ayat perintah meninggalkan angkara murka dan larangan terhadap orang yang berharap/mengangan-angankan sesuatu yang mustahil terjadi atau memberi sesuatu yang jumlahnya sedikit agar memperoleh sesuatu yang jumlahnya lebih banyak.(wa ar-rujza fahjur, wa lâ tamnun tastaktsir). Ada dua ayat lagi, yang penting sekali kaitannya dengan perjuangan atau berjihad. Berjuang harus dimaksudkan untuk mengagungkan asma Allah (wa rabbaka fakabbir). Selain itu harus bersabar (wa li rabbika fashbir). Sebagai makhluk beriman maka seluruh rangkaian amal dan pengabdiannya harus diarahkan pada tujuan tunggal, yaitu menggapai ridha Allah swt.
Seharusnya pengembangan lembaga pendidikan tinggi Islam mengacu pada petunjuk ayat-ayat al-Qur’an ini. Pertama dimulai dari membaca (qirâ’ah) kondisi internal maupun eksternal kampus, meliputi: potensi, tantangan, maupun peluangnya. Pemahaman terhadap hal itu semua melahirkan kesadaran. Muddatsir adalah gambaran orang yang lagi pasif (berselimut), maka hal itu merupakan sebuah seruan untuk melahirkan kesadaran agar berlanjut terjadi qiyâm atau kebangkitan. Kesadaran akan menjadi sebuah kekuatan pendorong terjadinya kebangkitan. Perguruan tinggi Islam harus bangkit. Mereka seharusnya bertekad tak mau diungguli oleh perguruan tinggi manapun dan di manapun. Munculnya semangat itulah yang disebut telah lahirnya kebangkitan.
Selanjutnya, UIN Malang sebagai perguruan tinggi yang ingin menjadikan Islam sebagai pegangan dan pedoman hidup harus menjauhkan diri dari hal apa saja yang bersifat merugikan diri maupun pihak lain (kemungkaran dan bersikap subjektif). UIN Malang harus dikembangkan dalam konteks berjuang (jihâd) mengagungkan asma Allah. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran, kesungguhan, kebersamaan dan pengorbanan. Itu semua dilakukan sebagai bentuk kesungguhan dalam mendekatkan diri serta menggapai ridha Allah swt.
Selain ber-iqra’ (membaca) secara terus menerus untuk melahirkan inspirasi dan kekuatan penggerak seluruh komponen yang ada, dibutuhkan pula rumusan visi, misi, core of value dan core of belief secara jelas. Sejak 1998 STAIN Malang yang saat ini berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang telah berhasil merumuskan Visi, Misi dan Tradisinya. Rumusan ini penting artinya untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar menyusun strategi pengembangan yang di dalamnya termasuk susunan skala perioritasnya.
Selain itu, UIN Malang telah berhasil menyusun strategi pengembangan sehingga melahirkan konsep yang disebut dengan Rukun al- Jâmi`ah yang terdiri atas sembilan macam komponen yang meliputi : (1) sumber daya manusia yang handal (dosen, karyawan, dan mahasiswa), (2) masjid, (3) ma’had, (4) perpustakaan, (5) laboratorium, (6) ruang belajar/kuliah, (7) perkantoran sebagai pusat pelayanan, (8) pusat pengembangan seni dan olah raga, dan (9) sumber-sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kesembilan komponen itu, merupakan satu kesatuan utuh yang harus diadakan sebagai karasteristik perguruan tinggi Islam, yang diharapkan mampu mengantarkan mahasiswa memiliki empat kekuatan sekaligus, yaitu: (1) Kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, (2) keagungan akhlak, (3) keluasan ilmu dan (4) kematangan profesional. Walhasil, semua usaha-usaha itu dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan diri dan ridha Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar