Kamis, 09 Februari 2012

tabiyah ulul albab IV

Materi IV

Pertemuan 6 dan 7

KEPRIBADIAN DAN TANGGUNG JAWAB ULUL ALBAB



  1. Makna Ulul Albab
Istilah Ulul Albab (أُولُو الْأَلْبَابِ) dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS. Al-Baqarah; 179, 197, 269; Qs. Ali Imran: 7, 190; al-Maidah: 100; Yusuf: 111, al-Ra’d: 19, Ibrahim: 52; Shad: 29, 43; al-Zumar: 9, 18,21; al-Mu’min: 54, dan al-Thalaq:10.[1]
Jika diamati kata lain yang menyertainya, dapat diketahui bahwa أُولُو الْأَلْبَابِ  berhubungan dengan qishash,[2] haji,[3] hikmah,[4] teks dan pemaknaan terhadap teks al-Qur’an,[5] penciptaan makro kosmik,[6] kebaikan dan keburukan,[7] kisah para nabi,[8] respon masyarakat terhadap al-Qur’an,[9] ajaran tauhid sebagai tujuan utama al-Qur’an diturunkan,[10] fungsi al-Qur’an sebagai renungan,[11] berkumpulnya keluarga sebagai rahmat,[12] ‘abid (orang ahli ibadah) dan ‘alim (orang berpengetahuan/intelektual) memiliki stratifikasi lebih tinggi dari yang lain,[13] orang yang mendengarkan lalu mengikuti kebaikan,[14] perintah memperhatikan makro kosmik,[15] Hidayah dan dzikir,[16] dan perintah bertaqwa agar terhindar dari siksa Allah.[17]
Berdasarkan atas ayat-ayat tersebut di atas, para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik أُولُو الْأَلْبَابِ secara berbeda-beda. Quraish Shihab[18] menyatakan bahwa jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Agak sedikit berbeda, AM Saefuddin[19] menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang lebih rinci lagi, Jalaluddin Rahmat[20] mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni:
1)    Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali Imran: 190);
2)    Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari  kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al-Maidah: 3);
3)    Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18);
4)    Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan al-Ra’d: 19-22);
5)    Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10).
Karakteristik ulul albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Ulul Albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (dzikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis.[21]
Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr, fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga mencakup fikir. Artinya bahwa kegiatan berdzikir juga melibatkan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendental. Dengan kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190. Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan, untuk mencapai kesimpulan bahwa  semua itu terjadi atas kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.
Berdasarkan pemahaman  terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyataan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.
Keragaman definisi di atas, dapat dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan ciri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahasa lain, masyarakat yang mempunyai status ulul alab adalah mereka yang memenuhi indikator Berikut;
1)    Memiliki ketajaman analisis;
2)    Memliki kepekaan spiritual;
3)    Optimisme dalam menghadapi hidup;
4)    Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani; individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat;
5)    Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan;
6)    Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial;
7)    Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan
8)    Berkepribadian kokoh.

B.  Iqra: Dasar Pembentukan Kepribadian Ulul Albab
Sebagai sumber dan informasi dari berbagai macam pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science), al-Qur’an mendorong umat Islam untuk senantiasa memiliki ghirah (semangat) tinggi dan motivasi yang kuat dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Motivasi pengembangan keilmuan yang demikian kuat di antaranya tampak pada ayat pertama yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah, yakni perintah iqra (membaca), yang terdapat dalam surat al-’Alaq ayat 1 – 5 berikut:
اقرأ باسم ربك الذي خلق 0 خلق الانسان من علق 0 اقرأ وربك الأكرم0 الذي علم بالقلم0 علم الانسان مالم يعلم (العلق:1-5)

 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan (1)
 Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah (2)
 Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah (3)
 Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (4)
 Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)

Lima ayat di atas menunjukkan betapa Islam concern terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan dengan melihat kepada semangat ayat tersebut, keilmuan Islam dibentuk sebagai ilmu yang holistik, yaitu ilmu yang tidak membedakan antara ilmu yang bersumber dari ayat-ayat Qur’aniyah pada satu sisi, dan ayat-ayat Kauniyah pada sisi lain. Kata “اقرأ   (membaca) merupakan petunjuk al-Qur’an akan pentingnya penggunaan alat-alat inderawi (mata dan akal) sebagai pengumpulan informasi pengetahuan. Untuk itulah, al-Qur’an (Islam) sejak awal tidak menafikan adanya ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengamatan inderawi terhadap sunnatullah.
Frasa “باسم ربك” memberikan pengertian bahwa kegiatan pembacaan terhadap alam, seperti yang dijelaskan sebelumnya, harus didasarkan pada sebuah keyakinan teologis. Keyakinan tersebut dalam perspektif al-Qur’an menjadi sebuah tolok ukur hadirnya nilai-nilai ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengamatan inderawi terhadap fenomena-fenomena kealaman.
Sedangkan frase “خلق الانسان من علق” mempertegas petunjuk kepada kita bahwa hal yang harus diamati oleh manusia pertama kali adalah menyangkut tentang dirinya sendiri, tentang bagaimana proses penciptaannya, gejala-gejala biologis yang berada di dalamnya, dan segala hal yang berkaitan dengan itu. Disinilah letak motivasi al-Qur’an terhadap berkembangnya ilmu-ilmu alam, khususnya biologi. Penyelidikan terhadap diri manusia, pada akhirnya akan menghadirkan sebuah kesadaran bahwa manusia berada diantara sekian penciptaan yang besar (makrokosmik). Untuk mempelajari alam semesta yang lebih luas itu, diperlukan ilmu fisika dn kimia agar manusia dapat mempelajari alam luas, sehingga manusia bisa mencapai kepada kesadaran Yang Satu (ربك).
Dengan demikian, arti membaca  dalam konteks ini tidak sekedar membaca teks tetapi juga membaca konteks. Bahkan makna iqra’ dalam arti membaca konteks, yakni situasi dan kondisi sosial, dalam konteks makna iqra dalam QS. Al-‘alaq ini lebih relevan jika dikaitkan dengan kondisi pribadi Rasulullah berikut setting sosio-kultural pada saat itu. Hal ini terbukti dalam beberapa indikasi berikut:
1)    Stategi dakwah yang diskenario oleh Rasulullah pada saat beliau di Makkah, adalah didasarkan kepada keberhasilan beliau membaca situasi dan kondisi masyarakat kota kelahiran beliau tersebut;
2)    Rasulullah Muhammad tidak memiliki kemampuan membaca dan bahkan menulis (teks). Artinya, ketidakmampuan Rasulullah  dalam hal membaca dan menulis teks, namun tetap diperintahkan untuk membaca bahkan perintah tersebut diulangi hingga tiga kali tersebut, semakin memperkuat makna iqra tidak sekedar membaca teks tetapi membaca konteks;
3)    Ketidakmampuan Rasulullah dalam hal membaca dan menulis, memiliki blessing teologis, sebagai bukti historis tersendiri  bagi upaya membantah tuduhan para orientalis bahwa Islam adalah agama yang disistematisir oleh Rasulullah, atau al-Qur’an sebagai hasil kreasi tangan Rasulullah SAW sendiri.
Merespons perintah Allah yang diapresaisi oleh Rasulullah tersebut, menuntut kepada semua umat Islam untuk meneladani pola kepatuhan Rasulullah terhadap semua amar Tuhannya. Salah satu indikator kepatuhan kita kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan, yang hanya kita dapatkan melalui iqra’. Jika pada masa dahulu iqra sudah berarti membaca kondisi sosial, maka makna iqra dalam konteks pengertian sekarang adalah melakukan upaya eksplorasi, meneliti, membaca, menelaah, menemukan, dan bahkan mengembangkannya untuk kepentingan seluasnya-luasnya bagi kemanusiaan. Bukankah ini juga merupakan apresiasi Rasulullah terhadap orang yang memiliki kemanfaatan bagi orang lain sebagai sebaik-baik manusia. Bahwa orang yang paling baik adalah orang yang memiliki kontribusi besar bagi kemanusiaan, yang ditunjukkan dengan karya-karya positifnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
ا لترمذى-
Hadits di atas merupakan apresiasi Rasulullah terhadap orang yang memiliki kontribusi besar bagi kehidupan. Bahwa orang yang memiliki karya-karya positif bagi kehidupan diklaim sebagai manusia terbaik. Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan mengkontribusikannya untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia, diumpamakan sebagai hujan yang menimpa bumi yang subur di mana bumi tersebut menumbuhsuburkan tanaman yang sangat bermanfaat bagi manusia.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (البخارى)

Untuk memiliki kemampuan dan profesionalisme yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran ini, diperlukan adanya upaya maksimalisasi potensi fikir. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an misalnya, bahwa kata yang serumpun dengan kata ‘ilm, fikr, faqih dan yang serumpun dengan tiga kata tersebut, disebutkan secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk atau sebanyak 750 kali. Bahkan kata tersebut, menurut Wan Mohd Daud, merupakan kata yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an, setelah kata allah sebanyak 2500 kali, kata rabb 950 dan kata ‘ilm sebanyak 750 kali. [22]
Banyaknya kata ‘ilm dalam al-Qur’an tersebut, menjadi petunjuk jelas bahwa ilmu merupakan salah satu unsur penting dalam konsepsi Islam. Oleh karena betapa pentingnya ilmu itulah, maka logis jika wahyu yang pertama kali diturunkan Allah kepada rasul pilihan-Nya adalah iqra. Iqra adalah satu-satunya sarana terpenting bagi lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbentuknya pribadi insan Ulul Albab.
Dalam hadits Nabi juga dinyatakan bahwa pemahaman terhadap agama, merupakan jalan untuk mencapai kebaikan yang dikehendaki Tuhan, sebagai dinyatakan dalam hadits berikut:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
(البخارى)
Urgensi ilmu pengetahuan sebagai sistem Islam ini tampak dalam apresiasi Allah dalam berbagai kesempatan dalam al-Qur’an, maupun rasulullah dalam sejumlah teks hadits. Di dalam al-Qur’an misalnya dinyatakan bahwa   Allah akan memberikan derajat yang tinggi terhadap orang-orang yang berilmu (QS. Al-Mujadilah: 11),[23] apresiasi Allah terhadap ulama[24] yang memiliki etos ketaqwaan yang tinggi di hadapan Allah (QS. Fathir: 28).[25]
Berdasarkan penjelasan kedua ayat ini, dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah hanya akan memberikan penghargaan demikian tinggi terhadap orang yang memiliki kualitas keilmuan yang handal namun ditopang dengan basis keimanan yang kokoh pula. Karena itu pula, kedua ayat ini ekuivalen dengan perintah ber-iqra yang ditopang dengan bismi rabbik al-ladzi khalaq, sebagaimana dalam QS. al-‘Alaq: 1.
Di dalam hadits juga terdapat sejumlah teks yang menganjurkan umat Islam untuk menjadi kelompok yang berilmu, dengan motivasi yang begitu kuat, misalnya adalah apesiasi nabi terhadap seorang ulama yang harganya jauh lebih tinggi dari seorang ahli ibadah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa keutamaan seorang ahli ilmu dibandingkan dengan ahli ibadah laksana keutamaan bulan atas sejumlah bintang.[26] Makna dari hadits tersebut adalah bahwa orang yang memilki ilmu pegetahuan memiliki kontribusi besar dan kemanfaatan bagi masyarakat luas yang diumpamakan seperti bulan, yang sinarnya bisa menerangi kegelapan dunia.
Insan Ulul Albab adalah komunitas yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sekian piranti terpenting untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia mupun di akhirat. Bahwa tuntutan untuk mengembangkan keilmuan merupakan sebuah kemestian karena hanya derngan ilmulah manusia bisa mendapatkan jalan kemudahan untuk “menaklukkan” dan mendapatkan kemudahan di dunia dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi sebagai berikut:
الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ بِالْعِلْمِ وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَرَّثُوا الْعِلْمَ مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَقَالَ جَلَّ ذِكْرُهُ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ وَقَالَ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ وَقَالَ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَقَالَ أَبُو ذَرٍّ لَوْ وَضَعْتُمْ الصَّمْصَامَةَ عَلَى هَذِهِ وَأَشَارَ إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ ظَنَنْتُ أَنِّي أُنْفِذُ كَلِمَةً سَمِعْتُهَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ تُجِيزُوا عَلَيَّ لَأَنْفَذْتُهَا وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ (البخارى)

Dalam hadits di atas dinyatakan bahwa sapapun orang yang mencari ilmu dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mampu memberikan implikasi positif bagi diri  dan sesamanya, maka Tuhan menjanjkan kepadanya sebuah jalan  kemudahan dari sekian banyak jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai surga.
Memang tidak banyak penjelasan dalam kitab-kitab syarah hadits terkait dengan makna ”jalan menuju surga” sebagaimana disebutkan dalam teks hadits tersebut.  Namun hemat penulis bahwa orang yang mengkaji ilmu itu berarti mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang telah mencapai kedekatan diri kepada Allah maka ia dengan mudah akan mendapatkan petunjuk-Nya. Berbekal  dengan petunjuk Tuhan itulah maka  pengkaji ilmu tersebut akan senantiasa berupaya melaksanakan seluruh ajaran Allah, sehingga Allah akan memenuhi janji-Nya dengan menghadiahkan surga kepadanya.
Kajian dan pembicaraan mengenai surga Tuhan ini akan lebih menarik jika tidak hanya dimaknai sebagai kenikmata ukhrawi, tetapi juga sejumlah kenikmatan duniawi. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Khomeini,[27] yang menyitir pendapat Shadr al-Muta’allihin, bahwa melihat hal-hal yang menyenangkan itu berarti surga, sebaliknya melihat hal-hal yang tidak menyenangkan berarti itu neraka. Bertolak dari pendapat tersebut, maka segala sesuatu yang dapat memudahkan dan membahagiakan hidup bisa berarti ”surga”, dan sebalinya segala sesuatu yang menghambat serta menyengsarakan hidup maka itulah ”neraka”. Dalam konteks hadits tentang motvasi mencari ilmu di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang melengkapi dirinya dengan ilmu akan mendaparkan kemudahan dalam hidupnya, karena ia dapat menguasai beberapa sektor kehidupan yang mendatangkan sejumlah kebahagiaan. Dengan bekal kemudahan dan kebahagiaan hidupnya di dunia itulah, ia akan dapat berinvestasi demikian banyak yang ”buahnya” akan dipetik dan dinikmatinya di akhirat kelak. Dengan makna demikian pulalah, maka hadits ini sejalan dengan teks al-Qur’an yang dijadikan sebagai doa oleh setiap hamba Tuhan, agar diberikan kebaikan di dunia dan di akhirat kelak.   
Maksimalisasi potensi fikir yang melahirkan ilmu pengetahuan ini, dalam konsepsi Islam terintegrasi dengan wahyu. Dalam pengertian bahwa  pengembangan potensi fikir haruslah didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan. Dalam QS. al-’Alaq, disebutkan bahwa iqra yang mendasari ilmu pengetahuan adalah iqra bi ism rabbik iqra, yakni pengembangan keilmuan yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata lain, iqra yang dikembangkan dalam Islam adalah ilmu pengetahuan yang berbasis pada nilai-nilai ilahi atau terikat nilai-nilai ketuhanan (value bound), bukan iqra yang sekuler dan bebas nilai (value free).
Oleh karena pentingnya ilmu bagi kehidupan manusia inipula, nabi mengajarkan bahwa seseortang boleh memiliki sifat dengki kepada dua hal, yakni terhadap orang yang memliki keyaan dan mentasarufkannya dalam kebaikan, dan orang yang diberikan oleh Allah hikmah dan mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana hadits berikut:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ بْنَ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
(البخارى)
Integrasi antara kekuatan wahyu dan kekuatan akal itulah yang dalam konsepsi Islam disebut dengan istilah ulul albab. Insan ulul albab adalah insan yang dalam dirinya terbina di atas dasar keimanan yang kukuh dan intelektualitas yang tinggi, sehingga mampu melahirkan gagasan-gagasan baru yang kreatif, dinamis dan inovatif, untuk dapat diterjemahkan dalam karya praksis yang positif (amal shaleh).  Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah misalnya dalam QS. Ali Imran: 190-191.
Ketika mengomentari dua ayat tersebut, Ibnu Katsir[28] menyatakan bahwa komunitas ulul albab adalah komunitas orang yang memiliki kemampuan pemikiran dan intelektualitas yang bersih dan sempurna, sehingga mampu memahami hakikat*sesuatu secara benar. Komunitas ini mencapai strata tersebut, dilakukan dengan menggunakan dzikir dan tafakkur, melalui pengamatan, analisis dan melakukan perenungan secara mendalam ketika menyingkap rahasia alam. Predikat ulul albab hanya dicapai oleh orang-orang yang mampu berfikir tentang diri, fenomena alam, kejadian dan kehidupan. Pembentukan insan ulul albab yang mampu menghadirkan fenomena kehidupan Islam yang kukuh, yang mengintegrasikan unsur ketuhanan (wahyu) dan nilai-nilai rasionalitas inilah yang pernah memposisikan Islam sebagai ikon supremasi peradaban dunia selama beratus-ratus tahun.
C.  Insan Ulul Albab dalam Sejarah Pengetahuan Islam
Pencapaian generasi ulul albab yang menyatupadukan antara unsur kewahyuan dan rasionalitas tersebut menghantarkan Islam mencapai masa keemasan dan kecemerlangan (the golden age), justru di saat Barat berada pada titik nadir kegelapan (the dark age). Zaman keemasan Islam yang telah diletakkan dasarnya oleh rasulullah dan dikembangkan oleh para sahabat dan tabi’in ini melahirkan zaman keemasan pada era abbasiyah dan beberapa waktu setelahnya, yakni antara tahun 700-1500 M.
Masa keemasan yang telah digoreskan Islam dalam perjalanan sejarahnya itu, telah melahirkan pakar dan saintis Islam yang mempelopori pengkajian Islam dalam berbagai cabang keilmuan yang demikian luas. Ibnu Shina misalnya telah menulis sebanyak 220 karya yang salah satunya yang paling terkenal adalah tentang kedokteran, yang dikumpulkan dalam sebuah karya masterpeace-nya yang bertitel, al-Shifa’ yang terdiri dari 8 jilid. Al-Kindi juga telah melahirkan 242 karya cemerlang bidang filfsafat, ibnu ’Arabi sebanyak 284 buah, Zakaria al-Razi 236 buah, dan Abu Hasan al-Asy’ari sebanyak 93 buah.
Para pakar dan saintis Islam tersebut tidak hanya melakukan pengkajian Islam dari salah satu bidang, tetapi mereka mengembangkan kajian Islam secara menyeluruh. Fahruddin al-Razi misalnya, yang terkenal sebagai seorang mufassir, juga telah melahirkan dan mengembangkan sejumlah disiplin keilmuan di bidang metafisika, teologi, filsafat, fiqih, bahkan astronomi. Demikian juga dengan al-Jahiz, yang terkenal sebagai seorang teolog mu’tazilah, juga telah melahirkan sejumlah karya di bidang biologi terutama zoologi, yang hingga kini dijadikan sebagai referensi tidak saja di universitas-universitas di Timur tetapi juga sejumlah universitas di Barat.
Sejumlah bukti lain tentang lahirnya para saintis muslim, yang memiliki pengaruh besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Barat, juga dapat dilihat misalnya Abu al-Qasim al-Zahrawi (936-1013) yang di Barat dikenal dengan nama Abulcasis, sebagai bapak ahli bedah modern. Al-Zahrawilah tokoh penemu pertama penyakit keturunan yang dibneri nama hemofilia. Ibnu al-Haitsam, adalah sosok lain dari saintis Islam yang juga memiliki pengaruh terhadap Barat, karena keahliannya dalam bidang optik. Dialah orang pertama yang memberikan penjelasan tentang bagian-bagian mata dan proses penglihatan terjadi, yang dituangkan dalam karyanya, al-Manadzir. Selain kedua tokoh tersebut juga dapat disebut misalnya, al-Battani (868-929) yang ahli dalam hal matematika dan astronomi, Jabir ibn Hayyan (803) sebagai bapak kimia modern, dan al-Khawarizmi sebagai ahli matematika.
Bayt al-Hikmah yang dipersiapkan oleh khalifah al-Makmun di era abbasiyah yang menjadi wadah pengembangan keilmuan tidak saja oleh umat Islam tetapi juga seluruh penjuru Eropa, menjadi kontributor besar bagi upaya mengantarkan Islam mencapai derajat ketinggian tamaddun yang paling disegani. Bahkan karya-karya para sarjana Islam ini pulalah yang mendorong lahirnya era renaissance di Eropa, yang merupakan era pembebasan kungkungan pemikiran yang dilakukan oleh pihak gereja. Ribuan sarjana Eropa membanjiri sejumlah universitas di Baghdad, Spanyol, Mesir, Syiria, dan Persia (Iran sekarang). Karya-karya para pakar dan saintis Islam tersebut telah memposisikan Islam sebagai ikon supremasi peradaban dunia.
Ilustrasi kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasis pada kewahyuan Islam tersebut, menunjukkan hebatnya upaya maksimalisasi potensi akal dan berbasis pada tawhid. Oleh karena itu pula, Islam tidak pernah memiliki pengalaman adanya pemisahan antara akal dan wahyu, atau antara rasionalitas dan agama sebagaimana terjadi pada pengalaman tradisi gereja di Eropa, yang memberikan otoritas kepada rasio vis a vis otoritas agama (gereja), yang keduanya seringkali berjalan dalam konflik dan pertentangan.
Capaian sejarah kegemilangan Islam, menjadi bukti yang tidak terbantahkan betapa integrasi keilmuan dengan tuntunan kewahyuan, menjadi niscaya dilakukan jika umat Islam menginginkan dapat mencapai kembali kejayaan yang pernah diraih sebelumnya. Oleh sebab itu, insan ulul albab yang dicitakan UIN Malang, yakni sosok insan yang memiliki kekokohan akidah (dzikir), kecemerlangan intelektualitas (fikir) dan senantiasa berkarya positif (amal shaleh), merupakan tuntutan normatif sekaligus sebagai suatu keharusan sejarah  yang musti diwujudkan.
Membangun dan mewujudkan insan ulul albab, tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh orang perorang. Keberhasilan hanya akan dicapai manakala urgensitas tarbiyah ulul albab telah dipahami, dihayati dan menjadi suatu kesadaran kolektif di antara semua elemen, mulai dari pimpinan, dosen, karyawan dan bahkan semua mahasiswa yang menimba pengetahuan di kampus UIN Malang tercinta.
Insan ulul albab yang memiliki kedalaman spiritual (dzikir),  intelektualitas yang mapan (fikir) dan kreativitas dan aktivitas positif (amal shaleh), dapat dikembangkan dengan cara maksimalisasi potensi fikir secara komprehensif. Pentingnya akal bagi kehidupan manusia adalah sebagai sarana pengembangan potensi fikir, yang dapat dilakukan dengan piranti otak manusia. Otak manusia terdiri dari dua bagian, otak kanan dan otak kiri. Otak kanan memiliki fungsi untuk mengembangkan potensi-potensi eros, seperti mendengar musik, memanfaatkan paduan warna yang menarik, menciptakan simbol-simbol, humor dan memacu kreativitas. Sedangkan otak kiri berfungsi untuk mengembangkan potensi logos, berupa kemampuan skolastik, seperti membaca, berhitung, melakukan analisa dan penalaran serta kemampuan menghafal.
Kedua bagian otak manusia harus dikembangkan secara bersama-sama, sehingga melahirkan insan-insan yang memiliki keseimbangan hidup. Rasulullah SAW adalah contoh hidup dalam realitas sejarah yang mampu mengintegrasikan kemampuan otak kanan dan kiri sekaligus. Ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman misalnya, beliau mengajukan sejumlah pertanyaan yang membuat Mu’adz berfikir kreatif dan melatih artikulasi psikologisnya ke dalam tatanan verbal dan logikanya. Tuntutan Islam tentang adanya keharusan menyeimbangkan kehidupan, jasmani-rohani, dunia-akhirat, feminitas-maskulinitas, otak kiri-otak kanan, individu-sosial, dan seterusnya, merupakan tuntunan agar setiap manusia hidup dalam keharmonisan. Keharmonisan diri akan berimplikasi pada adanya keharmonisan sosial, yang dicitakan oleh setiap elemen masyarakat.
D.  Membangun Kepribadian Mahasiswa sebagai Insan Ulul Albab
Dalam pandangan Islam, mahasiswa merupakan komunitas yang terhormat dan terpuji,[29] karena ia merupakan komunitas yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmuan (scietist) yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan penjelasan pada masyarakat dengan pengetahuannya itu.[30] Oleh karenanya, mahasiswa dianggap sebagai komunitas yang penting untuk menggerakkan masyarakat Islam khususnya, dan seluruh umat manusia pada umumnya, menuju kekhalifahan yang mampu membaca alam nyata sebagai sebuah keniscayaan ilahiyah,[31] yakni mampu mengintegralkan diri dan melebur dalam kesadaran kemanusiaan dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan.
Untuk mencapai hal yang disebut terakhir, mahasiswa Islam dalam melakukan pembacaan alam nyata yang dikembangkan dalam fakultas ilmu-ilmu alam, seperti Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu sosial, seperti Ilmu Pendidikan, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, Psikologi, Ilmu Bahasa, harus mempunyai dasar-dasar keilmuan ilahiyah yang didasarkan atas pemahaman terhadap wahyu secara baik. Oleh sebab itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang keberhasilan pendidikan mahasiswa diukur dengan standard apabila mereka memiliki identitas dan kepribadian sebagai mahasiswa yang mempunyai: (1) ilmu pengetahuan yang luas, (2) penglihatan yang tajam, (3) otak yang cerdas, (4) hati yang lembut dan (5) semangat tinggi karena Allah.[32]
(1)  Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas
Dalam Islam dikenal ada dua teori dan aliran ilmu pengetahuan seperti yang terjadi di Barat, yaitu rasionalisme dan empirisme. Teori rasionalisme dalam Islam dikenal dengan teori qiyas (analogi), yaitu penggunaan metode berpikir rasional. Tokoh dari kalangan ini adalah Ibn Rusyd (1126-1198). Sedangkan Ibn Taymiyah (1262-1328) disebut-sebut sebagai tokoh dari aliran yang kedua, yaitu aliran empirisme.
Dalam teori rasionalisme disebutkan bahwa ilmu pengetahuan ada dalam dua bentuk yaitu pengetahuan dalam bentuk konsep (tashawur) dan pengetahuan dalam bentuk pembenaran (tashdiq). Jalan untuk memperoleh pengetahuan tashawur adalah dengan jalan menggunakan definisi (al-hadd), sedangkan jalan memperoleh pengetahuan tashdiq adalah silogisme (al-qiyas).[33]
Pandangan ini ditolak oleh Ibn Taymiyah, sebab definisi itu hanya bersifat khabariyah yang tidak disertai oleh bukti-bukti dan alasan yang kuat. Akal menurut teori rasionelisme tidak bisa didefinisikan, akan tetapi kita bisa mengetahui akal. Untuk itu, kata Taymiyah, jalan untuk mengetahui benda bukan definisi itu sendiri, melainkan pengetahuan tentang objek itulah yang membentuk pengetahuan.[34]
Sebelumnya, Imam Syafi’i membagi ilmu pada ilmu umum dan ilmu khusus. Ilmu umum adalah ilmu yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh umat Islam. Ilmu seperti ini termasuk ilmu dasar, seperti shalat, puasa, haji, zakat, larangan zina, bunuh diri, mencuri dan miras (minuman keras). Sedangkan ilmu khusus adalah ilmu yang berkaitan dengan perincian-perincian dari kewajiban pokok yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadits.[35]
Dalam konsep teologi Mu’tazilah, pengetahuan bersumber dari akal, bukan dari wahyu. Oleh karenanya, kewajiban-kewajiban, kebaikan dan keburukan bersumber dari akal ini, bukan dari wahyu.[36] Sekalipun demikian, kata aliran ini selanjutnya, akal tidak bisa mengetahui hal yang terinci. Bagian yang terkahir ini hanya bisa diketahui melalui wahyu.[37] Pandangan ini sama dengan aliran Maturidiyah dan ditentang oleh kalangan Asy’ariyah. Dalam pandangan Asy’ariyah pengetahuan hanya bisa bersumber dari wahyu (syari’at) bukan melalui akal.[38]
Sementara itu, al-Ghazali membagi ilmu pada ilmu yang terpuji (al-‘Ilm al-Mahmudah) dan ilmu yang tercela (al-‘Ilm al-Madzmumah).[39] Karena perspektif yang dipergunakan adalah azaz manfaat, berguna dan membawa kebaikan pada manusia, al-Ghazali memasukkan ilmu politik sebagai ilmu yang wajib dipelajari, karena politik merupakan prasyarat kesempurnaan pengamalan salah satu syari’at Islam, yaitu haji.[40] Lebih dari itu, al-Ghazali memasukkan ilmu kedokteran, astronomi dan astrologi, ilmu yang sementara ini dianggap sebagai ilmu umum dan tidak mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan tinggi agama (seperti pesantren, IAIN dan STAIN), ke dalam kategori ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap kelompok komunitas masyarakat (fardlu kifayah).[41]
Para pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori, ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadis dan ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya, selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.[42]
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang bahwa seluruh ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kategori-kategori yang berbeda tadi perlu dikuasai oleh mahasiswa Islam, baik dicapai secara personal maupun kolektif, dalam tempuhan SKS maupun tidak. Artinya, sebagai mahasiswa Islam yang bernaung di bawah bendera UIN, setiap personal diharapkan mempunyai gairah untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan dengan pandangan bahwa setiap ilmu pengetahuan pasti bernilai guna bagi manusia dan kemanusiaan.
(2)  Penglihatan yang tajam.
Al-Qur’an memberitahukan kepada kita bahwa melihat sangat penting. Begitu pentingnya melihat, al-Qur’an menyebutkan kata nadhara berikut kata bentukannya sekitar 192 kali, kata bashara berikut kata bentukannya sekitar 148 kali, dan kata ra’a berikut kata bentukannya sebanyak 328 kali. Al-Qur’an bahkan mengancam orang yang mempunyai penglihatan tetapi ia tidak dapat melihat (mana yang baik dan mana yang buruk) dengan penmglihatannya.[43]
Penglihatan yang tajam akan mampu memberikan informasi yang benar tentang segala hal, sehingga dengan itu mahasiswa mampu mengevaluasi, menganalisis dan membedakan informasi yang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil, yang selanjutnya ia akan memilih yang baik untuk dikerjakan, memilih yang benar untuk diikuti, dan memilih yang hak untuk dibela. Oleh karenanya, agar mahasiswa mampu membaca kesunyatan alam secara benar, ia perlu menguasai metodologi pengetahuan, seperti Metode Berpikir, Metodologi Penelitian, Metodologi Studi Islam, Metode Tafsir, Metode Istimbath Hukum (Islam), dan berbagai ilmu metode yang lain. Sebuah penglihatan yang tajam, dengan demikian, mempunyai pengertian kemampuan menganalisis seluruh kenyataan yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, ditambah dengan kemampuan indera keenam untuk memperoleh ilmu pengetahuan ‘irfaniy.
(3)  Otak yang cerdas.
Untuk mencapai kemampuan penglihatan yang tajam, mahasiswa diharapkan mempunyai potensi aqliyah, yaitu potensi analisis yang rasional dan obyektif. Potensi ini sangat penting dimiliki oleh mahasiswa, karena ia lerupakan salah satu alat (memperoleh) pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan akal sebanyak 49 kali, yang kesemuanya dalam bentuk kata kerja (verb). Al-Qur’an menyebutkan “berfikir”, sebagai wujud dari penggunaan potensi akal, dalam bentuk kata fakkara (berikut kata bentukannya) sebanyak 18 kali, yang kesemuanya juga dalam bentuk kata kerja (verb). Sedangkan dalam bentuk kata faqaha (memahami-wujud lain dari fungsi akal), berikut kata bentukannya disebutkan al-Qur’an sebanyak 20 kali, yang kesemuanya juga dalam bentuk kata kerja (verb). Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa potensi dasar akal sesungguhnya aktif, tidak pasif. Manusialah yang membuatnya menjadi pasif dengan tidak memikirkan bagaimana alam ini diciptakan, bagimana gunung ditinggikan, bagaimana hubungan sosial dapat menciptakan keharmonisan dan konflik, bagaimana manusia menciptakan kebudayaan dan seterusnya.
Al-Farabi (870-950 M.), salah seorang filosof muslim yang berasal dari Transoxania, memandang bahwa daya berfikir manusia terdiri dari tiga tingkatan, yaitu material intelect  (al-‘aql al-hayulaniy), actual intelect (al-‘aql bi al-fi’l), dan acquired intelect (al-‘aql al-mustafad). Sementara itu, Ibn Sina (980-1037 M.) membagi daya ini pada empat tingkatan, yaitu: material intelect (al-‘aql al-hayulaniy), intelectus in habitu (al-‘aql al-milkah), actual intelect (al-‘aql bi al-fi’l), dan acquired intelect ( al-‘aql al-mustafad).[44]
Dalam kajian psikologi, ada yang disebut dengan test Intelligence Quotion (IQ), untuk pertama kalinya dilaksanakan oleh Binet dan dipublikasikan pada tahun 1305. Model test yang ditemukan oleh Binet tersebut kemudian dikembangkan oleh Stern dengan nalar bahwa umur mental (mental age/MA) dan umur kronologis (chronological age/CA) bagi anak normal terdapat rasio.[45] Yang dapat kita ambil hikmahnya dari kajian Psikologis tentang intelegensi manusia ialah bahwa semakin dewasa umur dan mental seseorang, semakin cerdas juga ia dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “otak yang cerdas” dipahami dengan ithlaq al-juz wa iradat al-hal, menyebutkan juz’iyat tetapi yang dimaksdukan adalah sifat dan perilakunya. Otak yang cerdas, secara akademik barangkali diukur dengan nilai Indeks Prestasi (IP) yang diperoleh, tetapi dalam perilaku sehari-hari diukur dengan bagaimana ia dapat mengidentifikasi persoalan yang dihadapi, memilih dan memilah, melakukan evaluasi dan analisis, kemudian menyelesaikan persoalan tersebut dengan cepat (dalam ukuran waktu tidak mengakibatkan penumpukan persoalan), tepat (sesuai dengan dasar keilmiahan) dan benar (dalam ukuran agama dan etika).
(4)  Hati yang lembut.
Dalam al-Qur’an hati terkadang disebut dengan menggunakan kata qalbun dan terkadang dengan kata af’idatun. Kata qalbun berikut kata bentukannya disebutkan dalam al-Qur’an nsebanyak 135 kali, sedangkan kata af’idatun berikut kata bentukannya disebut sebanyak 16 kali. Yang menarik ditegaskan di sini bahwa al-Qur’an terkadang menyebutkan kalbu yang berfikir dan kalbu yang tidak melihat,[46] kalbu yang tidak mendegar,[47] kalbu yang tidak memahami,[48] kalbu yang tidak mengetahui,[49] dan bahkan kalbu yang berarti telinga[50].
Secara biologis kalbu hanya ada satu.[51] Meski secara biologis hanya ada satu kalbu, akan tetapi dengan beberapa potensi yang dimilikinya, kalbu mudah melakukan perubahan-perubahan dari apa yang ditetapkannya sendiri.[52] Perubahan-perubahan hati tersebut digambarkan dalam bentuk kata kerja (verb)nya, yaitu qalaba. Kata ini berikut beberapa kata bentuknya dalam al-Qur’an disebut 33 kali.
Dalam hidup bermasyarakat, hati merupakan terminal dan sumber segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku setiap individu. Dengan kata lain, perilaku yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan cerminan dari perilaku kalbu. Dalam hal yang berhubungan dengan ilmu (pengetahuan), hati merupakan terminal pengetahuan yang diperoleh melalui cerapan indera. Indera memberikan informasi tentang sesuatu yang ditangkapnya kepada akal, akal memproses, mengevaluasi, dan menilai informasi y`ng dikirim indera, dan kemudian berlabuh dalam hati menjadi sebuah keyakinan. Keyakinan inilah yang dicari pengetahuan dan disebut dengan “kebenaran.”[53]
Dilihat dari hubungan subyek dan obyeknya, kebenaran dapat dibagi pada dua macam, yaitu kebenaran ontologis dan kebenaran logis. Kebenaran ontologis ialah kebenaran yang ada pada obyek, sedangkan kebenaran logis ialah kebenaran putusan subyek dalam memberikan nalar tentang obyek.[54] Sedangkan ditinjau dari tingkatannya, kebenaran dapat dibagi pada kebenaran mutlak (kebenaran yang datang dari Tuhan), kebenaran nisbi (kebenaran yang diperoleh manusia) dan kebenaran dasar (kebenaran manusia yang masih membutuhkan penegasan lagi). Di bawah kebenaran dasar ini, tidak disebut dengan kebenaran, karena kebenaran dasar merupakan tingkatan terendah dari sebuah kebenaran.[55]
Agar mahasiswa mempunyai penglihatan yang tajam dan otak yang cerdas diperlukan hati yang lembut, yaitu hati yang dapat menerima kebenaran yang datang dari Allah swt. Sebab, al-Qur’an menggambarkan ada kalbu yang keras (ghalidh al-qalb)[56] yang menolak petunjuk (hidayah) Allah swt. Ghalidh al-qalb diidentifikasi oleh al-Qur’an sebagai kalbu yang sakit (maridl al-qalb)[57] dan tidak bisa membaca alam sebagai ciptaan Allah, bahkan mereka mempertanyakan untuk apa semua itu diciptakan.[58] Itulah sebabnya, agar mahasiswa mampu membaca alam tidak hanya sebagai sebuah kesunyatan, malainkan diyakini juga sebagai suatu kenyataan ilahiyah, mahasiswa diharapkan mempunyai hati yang lembut, suci, bersih dan putih.

(5)  Semangat tinggi karena Allah
Semangat tinggi mempunyai pengertian bahwa dalam menempuh studi dan kehidupannya, mahasiswa diharapkan mempunyai dasar jihad, yaitu semangat yang tinggi untuk mencapai tujuannya. Kata jihad (Arab) berasal dari kata jahada, mujhadatan wa jihadan. Dilihat dari akar katanya, kata ini berkaitan erat dengan sebuah upaya yang dilakukan dengan sekuat tenaga hingga mencapai puncak kekuatan dan kemampuan (juhaadaa). Untuk itu, orang Arab menyebut dinas militer, sebuah dinas yang mengandalkan kemampuan yang luar biasa, dengan jahadiyyah dan menyebut tanah keras atau tanah yang tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan dengan jahaad yang bentuk pluralnya juhud, serta menyebut orang yang bekerja sekuat tenaga, bersungguh-sungguh dan mengeluarkan seluruh kemampuannya dengan jaahid. Sedangkan kata juhida dipergunakan orang Arab untuk menyebut orang yang kurus karena bekerja keras.
Kata ini pertama kali ditemukan dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah (2):218. Ayat ini turun berkaitan dengan pertanyaan para sahabat adakah peperangan yang diberi pahala para mujahid? Kemudian Allah swt menurunkan QS. al-Baqarah (2):218.[59] Sementara dalam QS. al-Nisa’ (4):95 kata ini diulang dalam satu ayat sebanyak tiga kali, merupakan penyebutan kata yang terbanyak dalam satu ayat. Ayat ini menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang berjihad. Menurut riwayat Abi Dawud dari Zaid bin Tsabit berkata:
 “Saya berada di dekat Nabi saw., maka saya menyelubungkan pedang Nabi saw dan tiba-tiba paha Nabi menimpa di atas paha ku. Saya tidak pernah merasakan beratnya sesuatu lebih dari paha Nabi. Kemudian Nabi terasa ringan dan bersabda: “Tulis”. Saya pun kemudian menulis “….” Setelah mendengar keutamaan para mujahid, Ummu Maktum, seorang laki-laki yang buta, berdiri dan berkata: “Ya Rasulallah bagaimana orang mukmin yang tidak bisa ikut berperang? Setelah dia selesai berbicara, saya kemudian menyelubungkan pedang Nabi. Tiba-tiba paha Nabi menimpa di atas paha saya, saya pun merasakan berat kedua kalinya yang sama dengan kali pertama. Kemudian Nabi terasa ringan dan bersabda: “Wahai Zaid bacalah”, saya membacakan “…”, maka Nabi bersabda “Ghayru Ulidldlaruri” sampai akhir ayat.[60]

Sekalipun dalam kedua ayat di atas, bahkan beberapa ayat yang lain, kata jihad berhubungan dengan perang, kata ini tidak hanya menunjuk pada jihad dengan pedang. Dalam QS. al-’Ankabut:6 misalnya, kata ini mempunyai pengertian yang sama dengan amal saleh[61] atau pekerjaan-pekerjaan untuk mentaati syari’at.[62] Oleh karenanya dalam menafsiri ayat ini Imam Hasan al-Bishriy mengatakan bahwa setiap manusia pasti melakukan jihad, sekalipun pada satu ketika tidak dengan menggunakan pedang.[63] Sebab itu, jihad dalam sebuah studi tidak diartikan dengan mengangkat senjata untuk memperoleh kemenangan dalam sebuah perang, melainkan berusaha sekuat tenaga dengan mengangkat pena untuk memperoleh pengetahuan yang dicita-citakan dalam rangka memerangi hawa nafsu yang akan menghancurkan dan merusaknya.
E.  Prinsip Pendampingan dalam Pembentukan Kepribadian Insan Ulul Albab
Untuk mencapai keberhasilannya yang maksimal, kegiatan pendidikan dan kemahasiswaan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, baik kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstra kurikuler, diarahkan pada pemberdayaan potensi dan kegemaran mahasiswa untuk mencapai target profil lulusan yang memiliki ciri-ciri: (1) kemandirian, (2) siap berkompetisi dengan lulusan Perguruan Tinggi lain, (3) berwawasan akademik global, (4) kemampuan memimpin/sebagai penggerak umat, (5) bertanggung jawab dalam mengembangkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat, (6) berjiwa besar, selalu peduli pada orang lain/gemar berkorban untuk kemajuan bersama, dan (7) kemampuan menjadi tauladan bagi masyarakat sekelilingnya.[64]
Identitas tersebut tidak hanya menjadi ciri khas UIN Malang, melainkan telah menjadi proyeksi umat Islam internasional menuju pencapaian target keilmuan Islam yang global dan dapat mengantarkan manusia pada kesejahteraan, kedamaian, kenyamanan, dan kesenangan yang sebenar-benarnya. Menyadari hal itu semua, dalam suatu pendampingan yang dilandasi kesadaran kolektif dan kewajiban sosial, dengan pendekatan kolegial dan persaudaraan (ukhuwah) antara dosen, karyawan dan mahasiswa, serta antar personal mahasiswa, harus ada nuansa kasih sayang yang dikembangkan melalui proses ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), tadhamun (saling menghargai), tarahum (saling menyayangi) dan ta’awun (saling menolong).[65]
Oleh sebab itu, pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa di lingkungan UIN Malang didasarkan atas prinsip-prinsip:
1.    Keadilan
Prinsip keadilan dimaksudkan bahwa semua upaya pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa harus menyentuh nilai-nilai pemerataan dan keadilan, tidak timbang sebelah dan tidak berpihak pada kepentingan suatu golongan, daerah dan ras apapun. Tuntutan keadilan dalam pendampingan dan pemberdayaan diperlukan, sebab dalam pendampingan terdapat sebuah keputusan atau membutuhkan suatu keputusan, setidaknya berkaitan dengan penilaian.[66]
Oleh sebab itu, pendampingan dan pemberdayaan juga membutuhkan suatu keadilan. Agar terhindar dari perbuatan tidak adil, para pendamping diharapkan terlepas dari pengaruh emosional (hawa nafsu) dalam melaksanakan tugasnya, sekalipun yang dibimbing mempunyai hubungan kekeluargaan.[67] Seorang pendamping dituntut memberikan penilaian yang objektif berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas intelektual yang dimiliki mahasiswanya, meski mahasiswa tersebut tidak disenanginya karena perbedaan pendapat atau karena hal selain akademis. Pengaruh emosi dalam pendampingan hanya akan merugikan mahasiswa, yang pada akhirnya merugikan kampus dan Islam !!!
2.    Prinsip Demokrasi
Prinsip Demokrasi dimasudkan bahwa upaya pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa hendaknya bisa menjamin semua civitas akademika UIN Malang bisa berpartisipasi aktif, tanpa ada paksaan, intimidasi, dan terjauhkan dari hegemoni. Oleh karenanya, pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa hendaknya dilakukan secara sadar, bertanggung jawab dan dijamin hak-haknya. Artinya, pendampingan terhadap mahasiswa tidak memberi pengertian, dan memang jangan dipahami, bahwa mahasiswa tidak mempunyai kemampuan sama sekali, melainkan dipahami sebagai komunitas yang mempunyai potensi untuk dapat diarahkan dan dikembangkan.
Prinsip ini secara operasional dikembangkan melalui sistim musyawarah. Menurut petunjuk QS. Alu Imran:159, dalam bermusyawarah pendamping kiranya menghilangkan superioritasnya yang hanya akan memunculkan emosi dalam bermusyawarah, baik oleh pendamping atau mahasiswa yang didampingi. Sebaliknya, pendampingan hendaknya dilakukan dengan rasa saling kasih dan sayang. Apabila salah satu dari pendamping atau mahasiswa yang didampingi melakukan kesalahan, kiranya kesalahan itu segera dimaafkan. Namun apabila dalam perbedaan tersebut tidak dapat ditemukan kata sepakat, maka biarkanlah mahasiswa menentukan sendiri pilihannya (tawakkal), selama tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan syari’at Islam. Yang demikian ini, merupakan sistim pendampingan yang dilaksanakan dengan tujuan mencari Ridla Allah.[68]
3.    Prinsip Keseimbangan
Prinsip Keseimbangan dimaksudkan bahwa upaya pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa hendaknya memberikan keseimbangan dalam pemenuhan antara kebutuhan spritual, moral, intelektual, profesional dan fisik-materiil. Perlu dicatat bahwa dalam prinsip keseimbangan ini kepentingan akhirat tetap menjadi prioritas utama, sehingga dalam pendampingan yang bersifat duniawi kiranya mahasiswa diarahkan agar tidak mempunyai potensi yang merusak sistim, seperti potensi yang membawa pada permusuhan atau tidak senang pada orang lain, karena Allah tidak menyukai para perusak.[69]
4.    Prinsip Manfaat
Prinsip Manfaat dimasudkan bahwa upaya pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa hendaknya bisa menyentuh asas manfaat sebesar-besarnya bagi pembentukan dan pembangunan kepribadian seorang calon cendekia muslim. Apabila ada suatu kegiatan yang mempunyai dampak positif dan negatif, maka pertimbangkan terlebih dahulu melalui asas manfaat ini, apabila manfaatnya lebih besar dari mudlaratnya, kiranya kegiatan tersebut tidak perlu ditunda apa lagi dihalang-halangi hanya karena alasan administratif atau politis. Namun, apabila mudlaratnya lebih besar dari manfaatnya, pendamping perlu mengarahkan kegiatan tersebut agar memenuhi asa manfaat yang lebih besar.[70]
Prinsip manfaat juga menjadi pengendali agar pendampingan dapat terhindar kegiatan atau pembiayaan yang mubadzir. Kita perlu memberikan dana yang cukup dalam pendampingan. Namun, kita tidak perlu menyediakan dana yang berlebih-lebih untuk program yang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan visi dan misi Universitas,[71] sebab pendanaan yang mubadzir hanya akan mengakibatkan kegagalan pendampingan pada sisi lain dan lebih mudah dipengaruhi oleh hawa nafsu.[72]
5.    Prinsip Kebersamaan dan Kekeluargaan
Prinsip Kebersamaan dan Kekeluargaan dimaksudkan bahwa upaya pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa merupakan sebuah upaya yang dikerjakan oleh semua pihak secara kolektif, sesuai tata kehidupan masyarakat ilmiah yang dibangun di atas pilar-pilar ukhuwah islamiyah. Oleh karenanya, semangat kasih sayang antar sesama dan egalitarianisme dalam pendampingan dan pemberdayaan mahasiswa sangat diperlukan demi terciptanya kondisi kebersamaan dan kekeluargaan ini.
F.  Tanggung Jawab Ulul Albab dalam Pengembangan Ilmu Integratif
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda yang artinya sebagai berikut:
“Sebagian dari beberapa syarat kiamat ialah terjadinya stagnasi ilmu (pengetahuan), menebarnya kejahilan, maraknya masyarakat yang mengkonsumsi miras (khamr), dan transparannya perbuatan zina.” (Shahih Muslim, II:561; hadis nomor 2671).

Hadis yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa stagnasi ilmu (pengetahuan) akan mengakibatkan kejahilan, kejahilan mengakibatkan terjadinya kekacauan sosial, diakibatkan pengkonsumsian miras dan perbuatan zina. Jika hal tersebut sudah tampak dengan jelas di depan kita, maka itulah tanda akan datangnya kiamat, baik kubra maupun sughra. Kiamat besar ditandai rusaknya seluruh tatanan eko-sistem dan solar-sistem, sedangkan kiamat kecil ditandai rusknya tatanan sosial, terjadi konflik sosial, dan hancurnya hubungan kemanuisiaan.
Hadis itu juga menggambarkan bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu keagamaan, sebab peradaban manusia, khususnya ilmu pengetahuan, tidak akan pernah set back pada masa kegelapannya, melainkan ia akan berjalan linier dan berkelanjutan. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh istilah kejahilan yang diikuti oleh pengkonsusian miras dan zina, dimana hal tersebut merupakan indikasi hilangnya pengetahuan keagamaan masyarakat yang berkonsekwensi logis pada menurunnya religiusitasnya.
Sekalipun peradaban manusia, khsusnya ilmu (pengetahuan), bersifat linier dan berkelanjutan, kenyataan perkembangannya mengakibatkan kekacauan sosial, sebagai akibat dari terlepasnya nilai, khususnya nilai religi, dari ilmu (pengetahuan). Beberapa tahun lalu, kata Quraish Shihab, di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah tentang “cultural relations for the future” (hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang “reconstituting the human community” yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: “untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spritual.”
Apa yang diungkap ini, masih kata Shihab, sebelumnya telah diungkap oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau menulis: “Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spritual atas alam raya, emansipasi spritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spritual.[73]
Capra, dalam wujud kesadaran dampak negatif ilmu (pengetahuan), mengatakan bahwa pada awal dua dasawarsa terkahir abad ke-20 manusia berada dalam sebuah krisis global yang serius, yaitu krisis kompleks dan multidimensional yang sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan, dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini, masih menurut Capra, menyangkut dimensi-dimensi intelektual, moral dan spritual; sebuah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia.[74]
Oleh sebab itu, ilmu ternyata bisa mengakibatkan terjadinya keresahan sosial dan bahkan penghancuran (kiamat) terhadap kehidupan manusia sendiri. Dengan perkembangan ilmu, suatu contoh, manusia dapat melakukan eksploitasi sedemikian rupa terhadap alam, seluruh kekayaan bumi, seperti hutan, dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan sejenak, isi perut bumi, seperti gas dan batu bara, dikeluarkan. Semua itu secara tidak langsung telah merubah eko sistem alam yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Penciptanya. Terjadilah banjir yang dapat merubah seluruh pola kehidupan manusia. Lebih jauh, bumi yang seluruh isinya telah dieksplorasi dan dieksploitasi oleh kekuatan ilmu akan menjadi ringan dan lambat laun akan merubah peredaran bumi, akan terjadi kegoncangan dahsyat, benturan antar planet, dan akhirnya terjadilah suatu peristiwa yang digambarkan al-Qur’an berikut:
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) (1) dan bumi telah mengelaurkan beban-beban berat (yang dikadung)nya (2) dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini)? (3) pada saat itu bumi menceritakan beritanya (4) karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. (5) Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.”[75]

Dengan ilmu pengetahuan manusia mampu menciptakan mesin-mesin yang dapat mempermudah transportasi, hubungan dan pekerjaannya. Akan tetapi, polusi yang disebabkan oleh mesin mengakibatkan manusia menjadi sengsara, mudah terjangkit oleh penyakit dan lebih-lebih lagi polusi itu telah mengkoyakkan lapisan ozon, ozon terbuka, sinar matahari terasa lebih panas, air lautpun kemudian semakin naik, tumpukan karang es di kutub kemudian mencair, terjadilah kegoncangan alam. Sejak 14 abad  yang lalu, al-Qur’an telah menggambarkan secara sederhana kejadian yang sekarang kita rasakan ini dalam QS. al-Insyqaq:1-5 yang artinya sebagai berikut:
“Apabila langit terbelah (1) dan patuh pada kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh (2) dan apabila bumi diretakkan (3) dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong (4) dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat perbuatannya) (5)”[76]

Ilmu (pengetahuan), menurut informasi di atas tidak hanya memberikan kenyamanan, kemudahan dan kesejahteraan pada manusia, tetapi ia juga dapat mengakibatkan perubahan eko sistem dan polar sistem yang akhirnya membawa kesengsaraan dan mala petaka bagi manusia sendiri. Oleh karenanya, upaya memasukkan nilai-nilai religi kedalam ilmu (pengetahuan) dirasa sangat penting untuk meminimalisir dampak negatif ilmu, seperti dijelaskan tadi.
Dalam perspektif Islam, istilah pengembalian nilai terhadap ilmu sesungguhnya tidak pernah di kenal, sebab sejak perkembangan di masa awalnya hingga sekarang, ilmu (pengetahuan) Islam tidak pernah membedakan antara ilmu dan agama, bahkan antara keduanya dipandang inter-komplementer (saling melengkapi). Kalau belakangan dikenal adanya gerakan islamisasi pengetahuan, hal tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa pernah terjadi perkembangan ilmu (Islam) yang terlepas dari nilai-nilai religi.
Upaya islamisasi merupakan respon umat Islam terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak paruh kedua abad ke 20.  Sejak runtuhnya Baghdad, sebuah kota yang menjadi salah satu pusat peradaban Islam yang sangat penting pada masa Abbasiyah, ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M., pendidikan Islam dan seluruh kekayaan intelektualitas Islam pada umumnya mengalami kemandegan.[77] Seluruh lembaga pendidikan telah lumpuh total dan berubah menjadi lembaga indoktrinasi pemikiran para syeikhnya. Oleh karenanya, sejak saat itu, kebebasan berpikir sulit ditemukan dan literatur Islam pun mengalami disorientasi dan kehilangan orisinalitasnya.[78]
Sejak saat itu, pengetahuan berpindah dari Islam ke Barat yang secara otomatis menunjukkan superioritas Barat atas Islam. Hingga kini pun, kita masih melihat superioritas pengetahuan Barat atas Islam dalam jarak yang sangat jauh. Bahkan, sebagian umat Islam merasakan depresi yang sangat dalam menghadapi hal tersebut. Sebagian mereka melihat bahwa perlu mengadopsi seluruh ilmu Barat ke dalam epistemologi Islam, sebagiannya menolak sama sekali, dan sebagian yang lain lagi mengadopsi ilmu pengetahuan Barat dengan jalan islamisasi.[79]
Semangat islamisasi pada dasarnya dapat menunjukkan bahwa sementara ini ada wacana dekotomis, agama dan umum, dalam Islam. Salah satu efek positif islamisasi ialah usaha untuk mengembalikan epistemologi holistik dalam Islam dengan menjadikan al- Qur’an sebagai the body of the knowledge dan the grand theory-nya. Dalam semangat ini tentunya al-Qur’an tidak hanya dijadikan sebagai justifikasi ilmu pengetahuan,[80] akan tetapi lebih dari itu, ia bisa dijadikan sebagai informasi awal terhadap kritik ilmu pengetahuan Barat atau upaya pengembangan dan penemuan ilmu pengetahuan baru (baca: revitalisasi, reinterpretasi dan reformulasi). Sebab, tujuan pendidikan al-Qur’an adalah untuk membimbing manusia sehingga mampu menjalankan tugasnya, sebagai ‘abidullah dan khalifatullah di bumi.[81] Dalam bahasa al-Maududi, pembelajaran al-Qur’an bagi mahasiswa Islam berfungsi untuk membuka misteri-misteri ontologis yang tidak dapat ditangkap oleh indera manusia dan untuk mengetahui batas-batas akhir kemampuan nalar manusia.[82]
Wa Allah a’lam bi al-Shawab

BIBLIOGRAFI
Abd al-Baqy, A. Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an Indonesia: Maktabah Dahlan, 1945.

Al-Bukhari, “Shahih al-Bukhari”, dalam al-Maktabah al-Shamilah. CD-ROM. versi 1.0. Makkah: Global Islamic Software, 1999.

Al-Tirmidzi, “Sunan al-Tirmidzi”, dalam Mawsu’at al-Kutub al-Tis’ah. CD-ROM, versi 2.0. Makkah: Global Islamic Software, 1999.

Ibn Kathir,”Tafsir Ibn Kathir”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim. CD-ROM. versi 6.0. Makkah: Sakhr, 1999.

Khomeini, Imam 40 Hadits: Telaah atas Hadis-hadis Mistik dan Akhlak, buku II. Bandung: Mizan, 1994.

Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.

Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung: Mizan, 1986.

Saefuddin, AM. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1987.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Pesan,  Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2000.


[1]Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an (Indonesia: Maktabah Dahlan), 1945, 604.
[2]وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (QS. Al-Baqarah:179)
[3]الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ (QS. Al-Baqarah:197)
[4]يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (QS. Al-Baqarah:269)
[5]هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (Alu Imran:7)
[6] إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (Alu Imran:190)
[7] قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (al-Ma’idah:100)
[8] لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (Yusuf:111)
[9] أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (al-Ra’d:19)
[10] هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (Ibrahim:52)
[11] كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (Shad:29)
[12] وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ (Shad:43)
[13] أمن هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (al-Zumar:9)
[14] الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (al-Zumar:18)
[15] أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ حُطَامًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ (Al-Zumar:21)
[16] هُدًى وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ (al-Mu’minun:54)
[17] أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ آَمَنُوا قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا (al-Thalaq:10)
[18]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,  Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 16.
[19]AM. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1987), 34.
[20]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus (bandung: Mizan, 1986), 213-215.
[21] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: paramadina, 2002), 557.
[22] http://www.islamhadhari.net/v4/wacana/detail.php?nkid=19.
[23]….”Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan  orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. 58: 11).
[24] Ulama dalam konteks ayat ini dpahami sebagai orang-orang  yang mengetahui dan kebesaran dan kekuasaan Allah. Lihat al-Qur’an dan Tarjamahnya (Jakarta: Departemen Agama), 700.
[25] ……”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. 35: 28).
[27] Imam Kkomeini, 40 Hadits: Telaah atas Hadis-hadis Mistik dan Akhlak, buku II (Bandung: Mizan, 1994), 84-85.
[28]Ibn Katsir,”Tafsir Ibn Katsir”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim. (CD-ROM). versi 6.0 (Makkah: Sakhr, 1999).
[29]QS. al-Mujadalah:11
[30]QS. al-Tawbah:122.
[31]QS. Alu Imran:191.
[32]Tarbiyatu Uli al-Albab: Dzikir, Fikir dan Amal Shaleh (Malang: UIIS, 2002), h. 5.
[33]Ibn Taymiyah, Kitab al-Radd ‘Ala al-Manthiqin (Lahore: Idarat Tarjuman al-Sunnah, 1976), h. 4.
[34]Lihat ibid., h. 32.
[35]Lihat Ahmad Hasan, “The Early Development of Islamic Jurisprudence”, diterjemahkan oleh Agah Garnadi dengan judul, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1981), h. 199-200.
[36]Lihat al-Syahrastani, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Jilid I (Kairo: Dar al-Fikr, 1951), h. 45.
[37]Selanjutnya baca al-Qadli ‘Abd al-Jabbar, al-Majmu’ fi al-Muhith bi al-Taklif (Beirut: 1965), h. 22.
[38]Muhammad Ibn ‘Aliy ibn Muhammad Syaukani, Irsyad al-Fuhul (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 7.
[39]Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I (Semarang: Taha Putra, t.th.)., h. 14.
[40]Ibid., h. 18.
[41]Ibid., h. 19.
[42]Quraish Shihab, op. cit., h. 62-63.
[43]QS. al-A’raf:179, 195
[44]Harun Nasution, Falafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 30-31, dan 36-37.
[45]Selanjutnya lihat L.J. Bischof, Intelligence-Statistical Concepts of Its Nature (New York: Doubleday and Company, Inc., 1954); C. Burt, The Structure of the Mind: A Review of the Result of Factor Analysis (Beritish: Journal of Educational Psycology, 1949); dan Arnold Buss, Psycology – Man in Perspective (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1973).
[46]QS. al-Hajj:46.
[47]QS. al-A’raf:100.
[48]QS. al-A’araf:179 dan QS. al-Taubah:87 dan 127.
[49]QS. al-Taubah:93 dan QS. al-Rum:59.
[50]QS. Qaf:37.
[51]QS. al-Ahzab:4.
[52]QS. al-An’am:110 dan QS. al-Nur:37.
[53]Lihat Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu: Epistemologi dalam Filsafat (Cet. I; Bandung: Bina Cipta, 1988), h. 92; Kebenaran secara etimologis berasal dari kata “benar” yang berarti sesuai dengan apa adanya, sedangkan kebenaran berarti keadaan yang sesuai dengan hal yang sesungguhnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Depdikbud, 1989), h. 99-100.
[54]KJ. Veger, manusia dalam Lingkungannya: refleksi Filsafat tentang Manusia (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 1988), h. 40.
[55]Mudlor Ahmad, op. cit., h. 96.
[56]QS. Alu Imran:159.
[57]Dalam hal ini al-Qur’an menggunakan term fi qulubihim maradl. Term ini disebutkan sebanyak 12 kali dalam 9 surat. Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 664
[58]QS. al-Muddatstsir:31.
[59]Ibn Katsir, , h.
[60]al-Qurthubiy,., h.
[61]Ibn Katsir, op. cit., h.
[62]al-Qurthubiy, op. cit., h.
[63]Ibn Katsir, op. cit., h.
[64]Visi, Misi dan Tradisi STAIN Malang, (Malang; STAIN,1998), h.5.
[65]Tarbiyatu Uli al-Albab: Dzikir, Fikir dan Amal Shaleh (Malang: UIIS, 2002), h. 17-18.
[66]Perhatikan tuntutan keadilan dalam penentuan hukum dalam QS. al-Nisa’:58; al-Ma’idah:8.
[67]Perhatikan QS. al-Nisa’:135; al-An’am:152.
[68]QS. al-Syura:38.
[69]QS. al-Qashash:77
[70]Perhatikan logika ini dalam QS. al-Baqarah:219.
[71]QS. al-Isra’:26.
[72]QS. al-Isra’:27.
[73]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam kehidupan Masyarakat (Cet. XIV; Bandung: Mizan, 1997), h.
[74]Baca Fritjof Capra, “Science, Society and the Rising Culture”, diterjemahkan M. Thoyibi dengan judul, Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan (Cet. I; Yogyakarta; Yayasan Bentak Budaya, 1997), h. 3.
[75]Terjemahan dikutip dari Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya 1-30 (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, 1982-1983), h. 1087.
[76]Terjemahan dikutip dari ibid., h. 1040.
[77]Baca ekspresi Iqbal dalam melihat hal tersebut dalam M. Iqbal, The Reconstruction of Thought Religion in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1974), h. 8.
[78]Lihat Fazlurrahman, Islam and Modernity (Chicago: Chicago Press, 1979), h. 185-186.
[79]Beberapa model islamisasi ilmu pengetahuan baca misalnya dalam The International Institute of Islamic Thought, Toward Islamization of Desciplines: Islamization of Knowledge Series 6 (Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan dan Belia, 1984).
[80]Lihat fungsi al-Qur’an sebagai justifikasi ilmu pengetahuan Barat dalam Achmad Baiquni, al-Qur’an dan Imu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
[81]Muhammad Quthb, manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jilid I (kairo: Dar al-Syuruq, 1400 Hijriyah), h. 13.
[82]Abu A’la al-Maududi, Manhaj Tajdid fi al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (Riyadl: Nasyr Kulliyat al-Tasyri’ah, t.th.), h. 39; seperti dikutib oleh ‘Abd al-Rahman bin Zayd al-Junaydy, Mashadir al-Ma’rifah fi Fikr al-Diniy wa al-Falsafiy: Dirasat Naqdiyah fi Dlaw’I al-Islam (Riyadl: Maktabah al-Muayyad, 1992), h. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar