Kamis, 09 Februari 2012

taklifi dan wad'i

MAKALAH
PEMBAGIAN HUKUM ISLAM
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh)


Dosen Pengampu:
Teguh Setiabudi, M. H


 


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, dimana masing-masing mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi kepentingannya terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya. Agar tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun meraka untuk bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Allah telah menetapkan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia yang disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Sejak saat itu manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan dalam segala tindakan yang mereka lakukan.mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang.
Karena hukum Islam adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum Islam beserta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya seperti hukum taklifi dan wadh’i.

2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah tentang pembagian hukum Islam  ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.         Apa pengertian hukum Islam?
2.         Bagaimana pembagian hukum Islam?
3.         Bagaimana pembagian hukum taklifi?
4.         Bagaimana pembagian hukum wadh’i?
5.         Bagaimana perbedaan hukum taklifi dan wadh’i?


3.      Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah tentang pembagian hukum Islam  ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui pengertian hukum Islam.
2.         Untuk mengetahui pembagian hukum Islam.
3.         Untuk mengetahui pembagian hukum taklifi.
4.         Untuk mengetahui pembagian hukum wadh’i.
5.         Untuk mengetahui perbedaan hukum taklifi dan wadh’i.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam atau disebut juga hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Seperti firman Allah:
أوفوا بالعقود …..
“penuhilah janji”
Adalah doktrin syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan tuntutan melaksanakan. Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan, pilihan, atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli ushul.
Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Jadi firman Allah أوفوا بالعقود  (penuhilah janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.[1]
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.
B.       Pembagian Hukum Islam
Para ulama ushul membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

1.        Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.[2]
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah SWT :
خذ مِن أموالهم صدقة
 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (Q.S. At-Taubah : 103).
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah SWT :
لا يسخر قوم من قوم
“Janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain” (Q.S. Al-Hujurat:11).
Contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah firman Allah SWT :
وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu” (Q.S. Al-Maidah : 2).
2.        Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.[3]
C.      Pembagian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibadah.[4]


a.        Wajib
Ijab atau Wajib yaitu firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, sehingga orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan mendapat pahala dan bila meninggalkannya akan mendapat dosa atau siksa. Misalnya kewajiban shalat sebagaimana firman Allah SWT:
وأقيمواالصلاة وءاتواالركاة واركعوامع الراكعين.
“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi, yaitu:
1.      Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, wajib dibagi atas wajib muthlaq dan wajib al-mu’aqqot.
a.       Wajib muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
b.      Wajib al-mu’aqqot adalah kewajiban yang harus dlaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu seperti shalat lima waktu dan puasa  Ramadhan, dan adakalanya tidak ditentukan seperti membayar kifarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah. Wajb al-mu’qqot terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu:[5]
(1)   Wajib muwassa’, yaitu kewajiban dimana waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut. Misalnya shalat dhuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat tersebut jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk menunaikan shalat itu. Hal ini memberikan kemungkinan kepada mukalaf untuk leluasa menunaikan shalatnya di sembarang waktu dalam batas waktu yang ditentukan, di awal waktu dan di pertengahan atau juga di penghujungnya.
(2)   Wajib mudhayyaq, yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukan pada suatu amalan dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain. Seperti puasa Ramadhan.
(3)   Wajib zhu asy-syibhain, yaitu kewajiban yang mempuanyai waktu yang lapang tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali tetapi yang di perhitungkan syara’ hanya satu amalan saja.
2.      Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua:
a.       Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat shalat, dll.
b.      Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta dijalan Allah, berjihad, tolong-menolong, dsb.[6]
3.      Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian:
a.       Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya, mengerjakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dsb. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b.      Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat tan pa melihat melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya mendirikan tempat peribadatan, mendirikan rumah sakit, I sekolah, menyelenggarakan shalat jenazah,dsb.[7]
4.      Dilihat dari segi tertentu atau tidak tentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
a.       Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam shalat.
b.      Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang member pilihan tiga alternatif, member makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.[8]
b.        Haram
Tahrim atau haram yaitu firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:
حرّمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi”.
Secara garis besar haram dibagi menjadi dua:
1.      Haram Lidzatih atau haram karena perbuatan itu sendiri. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan oleh syar’i sejak semula dikarenakan ia mengandung kemafsadatan dan kemudharatan. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dll.
2.      Haram Lighairih atau haram karena berkaitan dengan perbuatan lain. Haram seperti ini tidak ditetapkan oleh syar’i keharamannya akan tetapi ada sesuatu yang menyebabkan keharamannya. Misalnya, jual beli yang hokum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa ramadhan yang semula wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa.[9]
c.         Mandhub
Mandhub atau Sunah yaitu firman Allah yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Sehingga orang yang melakukan nadb akan mendapat pahala dan meninggalkannya tidak mendapat dosa. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
ياآيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فأكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu saling memperhutangkan dengan suatu hutang sampai waktu yang ditentukkan hendaklah kamu menulisnya.....”
Menulis dan mencatat hutang itu tidaklah wajib, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan dengan fi’il amr, yang pada umumnya fi’il amr itu mengandung arti wajib, dikarenakan pada perintah tersebut didapatkan suatu qarinah yang menunjuk pada ketidakwajibannya mencatat hutang-piutang. Yakni firman Allah SWT :
فإن أمن بعضكم بعضا فليؤدّ الذي اؤتمن أمنته
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya.....” (Q.S. Al-Baqarah : 283).
Biasanya mandub ini disebut juga dengan sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:
1.      Sunat muakad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan Rasul, atau lebih banyak dikerjakan rasul dari pada tidak dikerjakannya. Misalnya shalat sunat hari raya.
2.      Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin.
Selain itu, jika dilihat dari siapa yang melakukannya sunat juga dibagi manjadi:
1.      Sunat ‘ain, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
2.      Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang dari suatu kelompok, misalnya mengucap salam, mendo’akan orang bersin, dll.[10]
d.        Makruh
Karahah atau makruh yaitu firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Sehingga orang yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dsb. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
ياآيها الذين أمنوا لا تسئلوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu...”.
Larangan menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah makruh bukan haram, karena Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang hal-hal yang belum kita ketahui. Firman Allah SWT :
فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Tanyakanlah kepada para ahli jika kamu tidak mengerti” (Q.S.An-Nahl : 43).
Pada umumnya, ulama membagi makruh pada dua bagian:
1.      Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya memakan daging kuda.
2.      Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. misalnya bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).[11]
e.         Mubah
Ibahah atau mubah yaitu firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Sehingga orang yang melaksanakannya maupun yang meninggalkannya tidak mendapat pahala atau dosa. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235:
ولاجناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran”.
Selain itu Allah juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 173:
 فمن اضطرّ غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, darah dan daging babi), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
Mubah dibagi pada tiga bagian:
1.      Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberi kebebasan untuk melakkukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang wanita dengan sindiran-sindiran yang baik (QS al-Maidah [5]: 2).
2.      Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. Hanya saja perintah itu hanya dimaksudkan qarinah­‑menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan untuk wajib. Misalnya perintah berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah haji (QS. Al-Maidah [5]: 2)
3.      Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syar’i tentang kebolehan atau ketidakbolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum  baraat al-ashliyah (bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat menurut asalnya adalah diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk itu, ulama ushul fiqih membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu dalah mubah”.
Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi menjadi tujuh bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti menjadi dua bagian, yaitu fardhu dan ijab atau wajib. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian, yaitu tahrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-qur’an dan hadits mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, ia disebut karahah tanzih.[12]
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi menjadi fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah. Sekalipun golongan ini membagi hukum taklifi menjadi tujuh bagian, tetapi pada umumnya para ulama sepakat membagi hukum tersebut menjadi lima bagian. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqh, yaitu wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah.
D.      Pembagian Hukum Wadh’i
Para ulama mambagi hukum wadh’i ini kepada: sebab, syarat, mani’. Namun sebagian ulama memasukkan azimah dan rukhshah.


a.      Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
Menurut para ahli ushul fiqh, bisa dibagi dilihat dari berbagai segi, yaitu:
1.      Dari segi objeknya, al-sabab terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Sabab al-waqti (السبب الوقتي), seperti tergenlincirnya matahari sebagai tanda wajibnya sahalat dhuhur, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-Israa’, 17: 78:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
b.      Sabab al-ma’nawi (السبب المعنوي), seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar, sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
Setiap yang memabukkan itu adalah haram. (HR. Muslim, Ahmad Bin Hambal dan Ashhab al-sunan).
Contoh lainnya, mengenai satu nisab harta menjadi penyebab kewajiban zakat, dan penyebab-penyebab lai dalam permasalahan hukuman.[13]
2.      Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf, sabab terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan, seperti jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman qishash, dan akad nikah sebagai penyebab dihalalkannya hubungan suami istri. Sabab seperti ini terbagi lagi kepada tiga macam, yaitu:
a)      Sabab yang diperintahkan syara’ dan kewajiban atau dianjurkan bagi mukallaf untuk melaksanakannya, seperti nikah sebagai penyebab terjadinya hak waris mewarisi, dan nikah itu sendiri diperinthakan.
b)      Sabab yang dilarang syara’, seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
c)      Sabab yang dizinkan (ma’zun bihi) dan boleh dilakukan mukallaf, seperti sembelihan sebagai penyebab dihalalkannya hewan sembelihan, dan penyembelihan itu sebdiri sesuatu yang mubah.
b.      Sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan, seperti tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat dhuhur, hubungan kekerabatan sebagai penyebab munculnya hak waris mewariai dan wafatnya seseorang sebagai penyebab berpindahnya hak milik kepada ahli waris.[14]
3.      Dari segi hukumnya, sabab terbagi dua macam, yaitu:
a.       Sabab al-masyru’ (السبب المشروع), yaitu seluruh yang membawa kepada kemaslahatan dalam pandangan Syar’i, sekalipun yang dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad, sebagai penyebab tersiarnya Islam, terpeliharanya aqidah dan sampainya pesan-pesan agama, sekalipun dalam pelaksanaan jihad membawa kepada kemsfadatan, seperti pengorbanan harta dan bahwa yang mengancam jiwa.
b.      Sabab ghairu al-masyru’ (السبب غير المشروع), yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan Syar’i. Sekalipun didalamnya juga terkandung suatu kemaslahatan secara zhahir. Misalnya, nikah fasid dan adopsi (al-thabanni).
4.      Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sabab terbagi kepada dua bentuk, yaitu:
a.       Sabab yang berpengaruh kepada hukum (السبب المؤثر في الحكم), yang disebut illat, dimana antara sebab seperti ini dengan hukum ada keserasian yang bisa dinalar dan hikmah yang mengandung motivasi pensyari’atan hukum tersebut.
b.      Sabab yang tidak berpengaruh pada hukum (السبب غيرالمؤثر في الحكم), dimana antara sebab dan hukum tidak ada keserasian, seperti waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
5.      Dari segi jenis musabbab, terbagi atas dua macam, yaitu:
a.       Sabab bagi hukum taklifi (السبب الحكم التكلفي), seperti waktu yang ditentukan untuk kewajiban sahalat dan munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b.      Sabab untuk menetapkan hak milik (السبب لإثبات ملك), melepaskan semua, atau menghalalkannya, misalnya, jual beli sebagai penyebab pemilikan barang yang dibeli, akad nikah sebagai penyebab halalnya hubungan suami istri, dan talak sebagai penyebab lupas (putus)nya hubungan suami istri.
6.      Dari segi hubungan sabab dengan musabbab, sabab  terbagi atas tiga macam, yaitu:
a.       Sabab al-sayr’i (السبب الشرعي), yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan hukum Syar’i, seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat dhuhur.
b.      Sabab al-‘aqli (السبب العقلي), yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan melaluui nalar manusia, seperti belajar sebagai penyebab seorang berilmu.
c.       Sabab al-‘adi (السبب العادي), yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan kepada hukum adat kebiasaan atau ‘urf, seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.

b.      Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun. Bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat berjalan, satu tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.[15]
Ulama Usuluyyin membagi syarat menjadi beberapa bagian:
1.      Syarat hakiki (syar’i), yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang pertama dilakukan. Misalnya wudhu menjadi syarat sahnya shalat, dan saksi menjadi syarat sahnya nikah. Syarat hakiki ini dibagi ke dalam dua bagian:
a)      Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya, adanya unsur kesengajaan dan permusuhan adalah dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukuman qishas. Begitu juga genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk memenuhi nisab yang menjadi sebab wajib zakat. Dan adanya dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad perkawinan yang menjadi sebab halalnya “berkumpul” antara seorang laki-laki dan perempuan.
b)      Syarat untuk menyempurnakan musabbab. Misalnya, bersuci adalah syarat penyempurnaan shalat yang wajib disebabkan telah masuknya waktu shalat. Bagitu  juga matinya orang yang akan menerima waris adalah dua syarat penyempurna untuk saling mempusakai yang disebabkan adanya ikatan perkawinan atau adanya hubungan kekerabatan (keturunan).
2.      Syarat Ja’li, yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya, seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang dari seorang penjual dengan syarat boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu diterima oleh si penjual, jual-beli tersebut dapat dilakukan.
Perlu ditambahkan bahwa ada pekerjaan yang tergantung adanya kepada sebab dan syarat sekaligus. Telah adanya sebab tetapi syarat belum ada, maka sebab tersebut tidak dapat bekerja atau tidak dapat mempengaruhi kepada pekerjaan itu. Misalnya, wudhu adalah syarat sah shalat maghrib dan terbenamnya matahari adalah sebab wajibnya shalat itu. Sebelum berwudhu, tidak sah mengerjakan shalat maghrib meskipun matahari telah terbenam di ufuk barat.[16]
c.       Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi menjadi dua macam:
1.      Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat sah shalat, yaitu suci dari najis. Hal ini disebut mani’ hukum.
2.      Mani’terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia tidak wajib mengeluarkan zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat. Namun, keadaanya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab.
d.        Sah, Fasad, dan Batal
1.    Pengertian Sah, Fasad, dan Batal
Secara etimologi, sah atau shihhah atau shahih, lawan dari kata maridh yang artinya sakit. Secara terminologi, para ahli ushul fiqh merumuskan definisi sah dengan:[17]
Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Maksudnya, yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’nya tidak ada.[18]
Dari definisi diatas, maka yang dikatakan dengan sah atau shahih adalah perbuatan yang dilaksanakan mukallaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang ditetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan tersebut tidak seperti yang dikemukakan diatas, maka perbuatan itu dianggap ghairu shahih atau bathi.[19]
Secara etimologi, batal yang dalam bahasa Arabnya al-buthlan berarti rusak dan gugurnya hukum. Secara terminologi, menurut Musthafa Ahmade al-Zarqa’, yang dikatakan batal adalah:[20]
Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan syara’.
Maksudnya, yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan dilaksanakan ketika ada penghalang. Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl).[21]
Dalam persoalan ibadah misalnya, suatu perbuatan ibadah yang kekurangan rukun, syarat atau sebabnya belum ada, maka perbuatan itu menjadi tidak sah (bathl). Atau orang yang melaksanakan ibadah itu mempunyai penghalang, seperti haid atau nifas.
Di samping istilah sah dan batal, dalam fiqh islam juga dikenal istilah fasad, yang posisinya berada diantara sah dan batal. Secara etimologi, fasad berarti “perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).” Terjemahannya dalam bahasa Indonesia “rusak.” Dalam pengertian terminologisnya terdapat perbedaan pandangan diantara ulama ushul fiqh.
Jumhur ulama berpendirian bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi yang sama, yang berakibat pada tidak sahnya perbuatan itu. Apabila suatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan tidak ada sebabnya, atau ada penghalang terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan itu disebut fasad atau batal[22].
Akan tetapi, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa antara fasad dan batal itu berbeda. Suatu perbuatan yang bersifat syar’i menurut mereka hukumnya shahih atau tidak shahih. Yang tidak shahih itu ada dua bentuk, yaitu batal dan fasad. Dengan demikian fasad sederajat dengan batal, karena keduanya sama-sama termasuk sesuatu yang tidak shahih.
Menurut ulama Hanafiyyah, suatu perbuatan dikatakan batal apabila kerusakan itu terdapat dalam esensi perbuatan. Misalnya tidak terpenuhinya salah satu rukun dalam shalat. Akan tetapi, apabila kerusakan itu tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu disyari’atkan, maka perbuatan itu dinamakan fasad. Misalnya melakukan transaksi jual beli yang mengandung unsur riba. Jual beli pada hakikatnya disyari’atkan dan sah, karena memenuhi rukun dan syaratnya. Tetapi karena adanya unsur riba dalam jual beli itu maka jual beli itu menjadi rusak, yang mereka istilahkan dengan fasad.




2.        Status Sah, Fasad, dan Batal
Persoalan yang muncul dikalangan ulama ushul fiqh adalah apakah sah, fasad, dan batal itu termasuk hukum taklifi atau wadh’i. Dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh.
Sebagian ulama ushul fiqh lainnya berpendapat bahwa sah atau fasad merupakan sifat perbuatan, bukan sifat hukum. Keduanya termasuk dalam mahkum fih (objek hukum) bukan kepada hukum. Sah, fasad, dan batal menurut mereka berkaitan dengan hukum-hukum syara’, baik hukum taklifi maupun hukum wadh’i.
Mayoritas ulama ushul fiqh berpendirian bahwa sah, fasad, dan batal termasuk hukum wadh’i, dengan pengertian suatu hukum yang berkaitan dengan sesuatu yang mesti aad pada hukum tersebut. Syari’ menurut mereka menyangkut keabsahan sesuatu kepada suatu perbuatan, sebagaimana juga menyangkutkan fasad dan batal kepada perbuatan lain. Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa yang terkuat dalam pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum wadh’i, karena yang dimaksudkan dengan sah adalah tercapainya ketentuan syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad tidak terdapatnya pengaruh syara’ dalam perbuatan tersebut.
e.       ‘Azimah dan Rukhshah
Bentuk lain dari hukum wadh’i adalah ‘azimah dan rukhshah. Dalam hal ini para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam menempatkannya sebagai hukum wadh’i. Ibn al-Hajib dan Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa ‘azimah dan rukhshah termasuk pada objek hukum, bukan kepada hukum. Menurut mereka, suatu perbuatan yang boleh dilaksanakan oleh para mukallaf, adakalanya berbentuk ‘azimah dan adakalanya berbentuk rukhshah.[23]
Pendapat kedua dikemukakan oleh al-Ghazali, al-Amidi, Muhibullah ibn ‘Abdul Syakur dan al-Syathibi. Menurut mereka ‘azimah dan rukhshah termasuk hukum wadh’i, karena pada dasarnya seluruh hukum itu bersifat ‘azimah dan status ini tidak berubah menjadi rukhshah kecuali ada penyebabnya. Penyebab tersebut, menurut mereka adalah seperti keadaan darurat untuk membolehkan yang diharamkan, atau ada udzur yang menyebabkan keringanan dalam meninggalkan yang wajib, atau untuk menghilangkan kesulitan bagi hamba. Dengan demikian ‘azimah dan rukhshah termasuk hukum wadh’i.[24]
1.        Pengertian ‘Azimah
Secara etimologi, ‘azimah berarti tekad yang kuat. Secara terminologi, para ulama ushul fiqh merumuskannya dengan:
Hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.
Maksudnya, ‘azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan oleh Allah, sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam al-Baidhawi (ahli ushul fiqih Syafi’iyyah) mengatakan bahwa ‘azimah itu adalah hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan karena ada uzur. Misalnya jumlah rakaat shalat zuhur adalah empat rakaat. Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur. Hukum tentang rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat disebut dengan ‘azimah. [25]
Menurut Jumhur ulama, yang termasuk ‘azimah adalah kelima hukum taklifi (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), karena kelima hukum ini disyari’atkan bagi umat Islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang termasuk ‘azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh, dan mubah. Ada juga ulama ushul fiqh yang membatasinya dengan hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan haram saja.
2.        Macam-macam ‘Azimah
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ‘azimah ada empat macam yaitu:[26]
a.         Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya, seperti ibadah, muamalah, jinayah, dan seluruh hukum yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan umat di dunia dan akhirat.
b.         Hukum yang disyari’atkan karena adanya sesuatu sebab yang muncul, seperti hukum mencaci-maki berhala atau sesembahan agama lain. Hal ini dilarang Allah karena orang yang menyembah berhala atau sesembahannya dicela akan berbalik mencela Allah.
c.         Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya, sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada. Status nasikh dalam kasus seperti ini adalah ‘azimah. Misalnya, firman Allah dalam persoalan pemalingan arah kiblat dalam surat Al-Baqarah ayat 144 yang artinya: “Maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah masjid al-haram.”
d.        Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti firman Allah dalm surat an-Nisa ayat 24, yang artinya: “Dan (diharamkan mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.”
Dalam ayat ini Allah mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan lafadz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak. 
3.        Pengertian Rukhshah
Secara etimologi, rukhsah berarti kemudahan, kelapangan dan kemurahan. Secara terminologis, Imam al-Baidhawi merumuskannya dengan:
Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya udzur.
Rukhshah yang ditetapkan berbeda dengan dalil disebabkan adanya uzur, berlaku dalam empat bentuk hukum syara’, yaitu ijab, nadb, karahah, dan ibahah, misalnya:[27]
a.         Rukhshah terhadap yang wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum ini wajib menurut Jumhur ulama.
b.         Rukhshah bersifat mandub seperti meng-qashar shalat bagi musafir. Menurut Jumhur ulama fiqh, meng-qashar shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi menurut ulama Hanafiyyah mengqashar shalat bagi musafir tidak termasuk rukhshah, tetapi termasuk ‘azimah.
c.         Rukhshah bersifat mubah bagi para dokter yang melihat aurat orang lain, laki-laki atau wanita, ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain pada dasarnya adalah haram, tetapi dibolehkan demi untuk menghilangkan kesulitan bagi umat manusia.
d.        Rukhshah bersifat makhruh, apabila seseorang yang karena terpaksa mengucapkan kalimat kufur (mengaku kafir) sedangkan hatinya tetap beriman. Mengaku kafir adalah haram bagi umat islam, karena hal itu menunjukkan bahwa ia telah murtad, tetapi karena ia dipaksa den gan ancaman hukuman untuk mengucapkan kalimat kufur tersebut, sementara hatinya tetap beriman, maka dalam hal ini berlaku rukhshah, tetapi bersifat makhruh.
4.        Memilih antara Rukhshah dengan ‘Azimah
Dalam menentukan pilihan yang paling afdhal antara rukhshah dengan ‘azimah terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Sebagian ulam ushul fiqh menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih ‘azimah, sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih rukhshah.
Alasan yang dikemukakan ulama fiqh yang mengatakan bahwa ‘azimah yang afdhal adalah: [28]
a.         ‘Azimah itu merupakan hukum asal yang bersifat umum untuk seluruh mukallaf, dan bersifat qath’i. Sedangkan al-rukhshah, sekalipun bersifat qath’i tetapi ketika diringankan, statusnya berubah menjadi zhanni.
b.         ‘Azimah sejalan dengan kaidah dasar yang menyeluruh dan berlaku untuk seluruh mukallaf, sedangkan rukhshah merupakan hukum parsial yang berlaku pada mukallaf, tempat, dan waktu tertentu saja. Oleh sebab itu, rukhshah merupakan hukum pengecualian dari ‘azimah.
c.         Mengambil yang rukhshah pada gilirannya bisa menjurus kepada meninggalkan hukum-hukum ‘azimah dalam beribadah.
d.        Prinsip dasar syara’ adalah taklif yang mengandung unsur kesukaran dan kesulitan, sehingga dengan kesukaran dan kesulitan itu amalan mukallaf lebih bernilai.
Adapun alasan yang dikemukakan para ulama ushul fiqh yang berpendapat bahwa mengambil rukhshah lebih afdhal dari ‘azimah adalah:[29]
a.         Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa banyak hukum yang disyari’atkan dengan cara menghindarkan kesukaran dan kesulitan itu dari mukallaf, dan dalil-dalil itu mencapai derajat qath’i. Diantaranya firman Allah:
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...(QS. Al-Hajj: 78).
b.         Tujuan Syari’ dalam rukhshah itu adalah untuk memberi keringanan dan menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu, siapa yang mengambil rukhshah berarti sejalan dengan maksud Syari’ diatas.
c.         Meninggalkan rukhshah dalam keadaan uzur (ada sebabnya) bisa menjurus kepada kemalasan seseorang untuk melakuakan kewajiban. Sikap seperti ini tidak dibolehkan syara’.
Dalam menghadapi pandangan dan alasan yang dikemukakan kedua kelompok ulama ushul fiqh diatas, Imam al-Syathibi mengatakan bahwa secara realitas, persoalan ini terletak pada kualitas kesulitan dan kesukaran yang dihadapi seseorang, dan hukumnya pun tergantung kepada ijtihad masing-masing, sesuai dengan kondisi keimanan dan ketakwaannya.
Akan tetapi seluruh ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa melakukan berbagai amalan dengan memilih rukhshah saja, bisa menjurus kepada beramal sesuai dengan hawa nafsu pribadi, serta menjurus kepada sikap pelarian dari ‘azimah. Dalam kaitan dengan ini, Ibn Hazm al-Andalusi mengatakan bahwa sikap seperti ini tidak dibenarkan dalam syara’, karena yang menjadi ukuran dalam beramal adalah ketentuan syara’, bukan hawa nafsu seseorang.
E.       Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadh’i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum diatas. Perbedaan dimaksud, antara lain:[30]
a.       Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat.
b.      Hukum al-taklif merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilakasanakan, ditinggal, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum al-taklif. Misalnya zakat itu hukumnya wajib (hukum al-taklif). Akan tetapi kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila harat tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nishab merupakan penyebab (hukum al-wadh’i) wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum al-wadh’i) wajib zakat.
c.       Hukum al-taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum al-taklif tidak boleh ada kesulitan (musyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wadh’i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena musyaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan), dan adakalanyadiluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dzuhur).
d.      Hukum al-taklif ditujukan kepada mukallaf yaitu orang-orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum al-wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.


BAB III
KESIMPULAN

1.      Hukum Islam atau disebut juga hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan.
2.      Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
a.       Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan
b.      Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.
3.      Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibadah.
4.      Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani’. Namun sebagian ulama memasukkan sah, fasad dan batal serta azimah dan rukhshah.
5.      Perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i yaitu:
a.       Hukum taklifi berisi tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat atau pilihan, sedangkan hukum wadh’i tidak berupa tuntutan, melainkan menerangkan sebab, mani’ suatu hukum, sah dan batal.
b.      Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf, sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan dan kadang-kadang tidak.



DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hasbiyallah. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV.Insan Mandiri.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Amani.
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Hasbiyallah, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV.Insan Mandiri), 2009, hlm 51
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani), 2003, hlm.101.
[3] Ibid., hlm. 105.
[4] Ibid., hlm. 105.
[5] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,  (Jakarta: PT Raja grafindo Persada), 2004, hlm.44-45.
[6] Ibid., hlm. 46.
[7] Ibid., hlm. 45.
[8] Ibid., hlm. 44.
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani), 2003, hlm.105.
[10] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,  (Jakarta: PT Raja grafindo Persada), 2004, hlm. 47.

[11] Ibid,. Hlm. 47-48.
[12] Ibid,. Hlm. 43.
[13] Hasbiyallah, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV.Insan Mandiri), 2009, hlm 58
[14] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,  (Jakarta: PT Raja grafindo Persada), 2004, hlm. 49-50.
[15] Ibid., hlm 50.
[16] Ibid., hlm 50-52.
[17] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1997, hlm. 270-271.
[18] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2007, hlm. 315.
[19] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1997, hlm. 271.
[20] Ibid, hlm. 272
[21] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2007, hlm. 315.
[22] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1997, hlm. 273.
[23] Ibid., hlm. 275.
[24] Ibid., hlm. 274-276.
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2007, hlm. 315.
[26] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1997, hlm. 277-278.
[27] Ibid., hlm. 278-279.
[28] Ibid., hlm. 280.
[29] Ibid., hlm. 280-282.
[30] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2007, hlm. 316.